Post-Tradisionalisme Islam; Sebuah Loncatan Gerakan Sosial dalam Memahami Keberagamaan

"Concentration on articulating intellectual dynamism taking place within NU community till the rising of Post-Traditional Islam pattern of though, tracking down factors having an effect on pattern of such though, and discovering patterns of liberalism developing within the community exercising the paradigm of the Post-Traditional Islam..... the rising of young generation of the community with new progressive vision is unique and remarkable trend. This change of vision can not be separated from the role of Achmad Siddiq and Abdurrahman Wahid. The progressive pattern of thought nowadays has been institutionalized among non-governments organizations of the Traditionalist community young generation, called themselves Post-Traditionalist Islam community....."
_Dr. Rumadi

Sebuah wacana Islam di Indonesia yang dalam kurun waktu satu dekade terakhir menjadi sorotan publik dunia adalah Post-Tradisionalisme Islam.

Berbicara Post-Tradisionalisme Islam tidak akan bisa dilepaskan dari akar konteks dan sejarah dimana wacana tersebut lahir. Post-Tradisionalisme Islam lahir sebagai wacana yang menjadi vis-a-vis bagi Neo-Liberalisme Islam, Post-Tradisionalisme Islam juga sering diinstitusikan sebagai identitas bagi sebuah komunitas anak muda NU yang menjawab kesalahan fonis stagnasi yang sering digembor-gemborkan oleh kalangan Neo-Modernis Islam.

Post-Tradisionalisme Islam sebagai sebuah komunitas anak muda NU yang mempunyai visi progressif yang berperan penting dalam diskursus wacana Islam di Indonesia, salah satunya adalah konsep Toleransi Beragama yang digaungkan oleh Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid adalah salah satu anak muda  NU yang menjadi identitas bagi komunitas Post-Tradisionalisme Islam -sebagaimana yang ungkapkan oleh Dr. Rumadi. Konsep Toleransinya Abdurrahman Wahid dipakai oleh hampir mayoritas anak muda NU yang terkumpul dalam komunitas Post-Tradisionalisme Islam seperti Ahmad Baso, Dr. Rumadi, Zaki Mubarok, Uday Mashudi, Abdullah Kamil, Hery Hariyanto Azumi, Zuhairi Masrawi dan beberapa intelektual muda NU lain yang aktif dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menjadi pintu utama dalam memahami keberagamaan sebagai sebuah konsekuensi dalam kehidupan sosial yang heterogen, sebuah konsep dimana penghargaan terhadap keberagamaan harus diilhami dalam suatu gerakan sosial.

Awal mula kelahiran wacana ini banyak ditentang oleh beberapa kalangan yang mengatasnamakan diri sebagai Neo-Modernis Islam, mereka mengklaim bahwa wacana Post-Tradisionalisme Islam mempunyai kecacatan dalam wilayah epistemologis dan hanya menawarkan konsep metodologis yang kaku. Namun semua klaim dan tuduhan kalangan Neo-Modernis tersebut tidak mendasar dan cenderung memaksakan diri, seperti halnya pertama, klaim bahwa wacana Post-Tradisionalisme Islam hanya sebagai wacana counter discourse bagi wacana Modernisme Islam dan beberapa turunannya; padahal secara epistemologis, wacana Post-Tradisionalisme Islam hanya membahas loncatan perkembangan epistemologis di kalangan anak muda NU yang menjawab tuduhan tidak mendasar (jumud, kaku dan kolot), sebuah tuduhan yang menghalalkan berbagai cara dari dan demi menuruti nafsu essensialisme kaum Modernis dan Neo-Modernis Islam.

Kedua, wacana Post-Tradisionalisme Islam mencoba mengangkat realitas dan positioning dunia Pesantren bagi kemajuan bangsa Indonesia dan perkembangan agama Islam, sebuah realitas yang menurut Abdurrahman Wahid memiliki ciri khas yang hanya didapat di Pesantern, yakni: 1). Pesantren memiliki sistem sosial tersendiri, dimana sistem tersebut sebagai miniatur kehidupan sosial masyarakat secara makro, dan cocok untuk menciptakan kader-kader bangsa yang tangguh dan mengerti cara baca dalam memahami kelokalitasan dan kekontekstualan suatu bangsa; 2). Pesantren memiliki policy yang hanya dapat ditemukan didalamnya, namun yang lebih mengesankan lagi adalah; 3). Pesantren mendidik jiwa-jiwa yang menghargai lokalitas, namun bervisi internasional, hal ini terbukti dengan kurikulum yang dipakai dalam studinya yang lintas batas suku, ras, dan bangsa; sebuah kurikulum ala kitab kuning yang sampai sekarang masih menjadi basis keilmuan bagi kalangan Tradisonalis Islam.

Ketiga, Post-Tradisionalisme Islam mencoba memahami Islam sebagai sebuah agama dengan nilai-nilai yang relevan bagi semua kalangan, dalam hal ini, pendekatan yang dipakai oleh kalangan Post-Tradisionalisme Islam adalah "Kritik Nalar Islam" Mohammed Arkoun dan "Kritik Nalar Arab" Mohammed Abed al-Jabiri. Kedua konsep tersebut berusaha memahami Islam sebagai agama yang lepas dari paradigma sejarah dan budaya yang selalu subjektif.

Post-Tradisionalisme Islam adalah sebuah wacana yang selalu menjadi paradigma gerakan sosial dalam memahami keberagamaan yang ada di Indonesia seharusnya mendapatkan apresiasi yang sangat besar di kalangan dunia Islam, namun bagi beberapa kalangan -seperti Neo-Modernis Islam dan beberapa variannya seperti Wahabiyyah dan kaum Fundamentalis Islam- selalu menolak eksistensi Post-Tradisionalisme Islam baik sebagai wacana maupun sebagai paradigma gerakan sosial dalam memahami keberagamaan yang terfragmen menjadi sebuah komunitas-komunitas gerakan sosial seperti PMII dengan landasan epistemologis yang tidak mendasar dan cenderung terlihat seperti Political Will an sich dengan orientasi kekuasaan semu. Padahal kalau kita telusuri, akar-akar epistemologis kalangan Neo-Modernis memiliki akar pemikiran yang sama dengan kalangan Fundamentalis Islam yang sering dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan terorisme yang melukai identitas Islam sebagai agama yang Rohmatan lil 'Alamin. Dari fakta bahwa kaum Neo-Modernis dan Fundamentalis Islam memiliki akar pemikiran yang sama tersebut, maka terdapat beberapa kaum Intelektual Modernis Islam seperti Nurcholis Madjid dan Amin Rais mencoba meninjau kembali dan berfikir ulang tentang landasan epitemologis Fazlurrahman tentang Noe-Modernisme Islam.

Pada titik ini, kita telah mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya Post-Tradisionalisme Islam itu sendiri. Sebagai sebuah wacana yang tidak hanya berada pada wilayah konsepsi, namun sudah sebagai paradigma memfragmenkan diri sebagai gerakan sosial dalam memahami keberagamaan yang digerbongi oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan dilokomitifi oleh anak-anak muda NU menjadi kekuatan mainstream dalam mendahulukan tindakan-tindakan berbasis toleransi dalam beragama, yang dimulai dari Indonesia untuk Islam di seluruh dunia; dari konsep klasik NU al-Muhafadhotu 'ala Qodim a-Sholih wa al-Akhdlu bi al-Jadid al-Ashlah untuk Islam yang Rahmatan lil 'Alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar