Perubahan Sosial Masyarakat Jakarta dan Radikalisme Agama (FPI, FKAWJ, MMI, dan HAMMAS)

Ribuan mata, beberapa bulan lalu, tertuju pada lautan laskar berjubah putih yang membanjiri Stadion Utama Senayan Jakarta dalam sebuah perhelatan tabligh akbar. Laskar berjubah putih itu tergabung di dalam kekuatan besar yang bernama Laskar Jihad. Di dalam tabligh akbar tersebut mereka meneriakkan kegetiran atas tragedi yang sedang menimpa umat Islam di Maluku, dan secara tegas mereka menyatakan kesiapan untuk terjun ke medan pertempuran di sana. Mereka juga "menyerang" Presiden Abdurrahman Wahid yang mereka anggap telah gagal mengemban tugas sebagai pemimpin umat Islam dan membiarkan negerinya terjebak dalam permainan konspirasi Barat dengan Zionis Israel. Beberapa kali kelompok semacam, bahkan yang berintikan mahasiswa, dengan memakai berbagai atribut khas mereka, turun ke jalan-jalan berdemonstrasi menentang berbagai kebijakan Gus Dur, seperti usulan pencabutan TAP MPR tentang pelarangan PKI. 
Belakangan mereka juga memprotes keras rencana kehadiran delegasi Israel di dalam Konferensi Parlemen se-Dunia di Jakarta dan bertekad untuk memblokir mereka di bandara dan tempat-tempat strategis lainnya; hal yang sebagian dipicu oleh penyerangan Israel yang didukung oleh kekuatan-kekuatan Barat, khususnya Amerika Serikat, atas umat Islam Palestina. Di kota yang sama hari-hari ini hampir tiap minggu kelompok Front Pembela Islam melakukan razia. Mereka mendatangi kafe-kafe, diskotik-diskotik, kasino-kasino, dan tempat-tempat lainnya yang mereka tuduh sebagai sarang maksiat dan membubarkan kegiatan di dalamnya tanpa bisa dirintangi secara berarti oleh petugas-petugas keamanan. Razia-razia ini tidak jarang diwarnai oleh aksi-aksi pengrusakan dan penghancuran. Isyarat tentang meningkatnya keberadaan kelompok yang menyebut diri mereka sebagai laskar di panggung nasional bahkan secara jelas terlihat awal Agustus lalu dalam Kongres Nasional Mujahidin pertama yang mengangkat tema "Penegakan Syariat Islam di Indonesia". Dalam kongres tersebut terdapat kurang lebih dua ribu peserta yang mewakili berbagai kelompok yang saat ini tengah menarik perhatian publik, seperti Laskar Santri, Laskar Mujahidin, Kompi Badar, Brigade Taliban, dan Pasukan Komando Mujahidin. Beberapa tokoh penting datang ke kongres tersebut, semisal Deliar Noer, Mansyur Suryanegara, Syahirul Alim, dan Alawi Muhammad. Selama tiga hari mereka mendiskusikan satu tema sentral dengan kesimpulan bahwa penegakan syariat Islam adalah hal yang mutlak untuk mengatasi berbagai krisis dan kerusakan yang terjadi saat ini. Fenomena gerakan-gerakan yang membawa muatan agama ini mencuat sejak terjadinya krisis multi-dimensi di negeri ini yang berakibat, di antaranya, lengsernya rezim Soeharto. Sejak saat itu, keberadaan mereka di panggung politik kenegaraan menjadi semakin tampak dan meningkat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Aksi-aksi mereka dibalut oleh rasa kekhawatiran yang mendalam terhadap terjerambabnya Islam ke dalam bayang-bayang Barat sekuler, yang mereka yakini tengah menjalankan agenda untuk menghancurkan umat Islam dengan berbagai cara. 
Gerakan-gerakan semacam itu, yang dalam penelitian ini akan disebut sebagai radikalisme agama, mempunyai landasan ideologis yang relatif konservatif; namun, secara politik radikal dan militan. Mereka mengklaim tengah menghidupkan kembali jalan Salafi, Manhaj Salafi, dan berjuang mengembalikan supremasi syariat Islam untuk membawa umat Islam keluar dari lilitan krisis. Laskar Jihad, misalnya, dinaungi oleh sebuah organisasi yang berlabel Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal-Jama'ah. Sementara laskar-laskar yang lain sebagian besar berafiliasi ke pesantren-pesantren atau komunitas-komunitas keagamaan yang bergiat di dalam alur faham keagamaan yang relatif sama. Namun demikian, mereka tidak segan-segan untuk mengacung-acungkan senjata dan meneriakkan "Allahu Akbar" untuk membela Islam yang, menurut mereka, tengah terjepit. Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah kota di mana kehadiran gerakan radikalisme agama paling dirasakan. Ia menjadi tempat di mana aksi-aksi besar gerakan tersebut dipusatkan. Ia juga menjadi saksi di mana aksi-aksi kekerasan dari gerakan semacam itu terjadi. 
Dari aspek politik, gaung dari aksi-aksi yang dijalankan di Jakarta memang terbukti jauh lebih efektif daripada kota manapun di Indonesia, karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan, pusat kegiatan bisnis, dan lain-lainnya. Hal ini terutama didukung oleh peliputan mass-media yang terpusat di Jakarta. Di samping itu, Jakarta adalah kota yang paling menikmati dan sekaligus merasakan dampak dari proses modernisasi dan pembangunan. Maka, dengan sendirinya masyarakat Jakarta menjadi masyarakat yang langsung dan paling efektif bersentuhan dengan kedua proses itu. Fenomena radikalisme agama jelas tidak bisa dilepaskan dari arus deras modernisasi dan pembangunan yang dijalankan negara dalam rentang tiga puluh tahun terakhir. Sementara kolonisasi internal dari negara dan penetrasi rasionalitas ekonomi dan administrasi ke dalam kehidupan sehari-hari, dalam konteks modernisasi dan pembangunan itu, terus berlangsung. Negara tidak memberikan ruang yang cukup bagi seluruh segmen masyarakat untuk mengekspresikan diri dan kepentingan-kepentingan mereka. Ekspresi Islam politik, misalnya, cenderung dimarginalisasi dan dihambat karena dianggap akan dapat mengganggu jalannya proses modernisasi dan model pembangunan yang diterapkan. Sebagai konsekuensinya, muncul kekecewaan dan rasa ketidakberdayaan yang mendalam dari berbagai segmen masyarakat. Hal semacam ini turut dipercepat oleh meningkatnya proses globalisasi, ketika intensifikasi hubungan sosial seluruh dunia telah mengaburkan batas-batas geografis, sosial, dan politik di mana ketergantungan pada tatanan global dan intervensi lintas-budaya menjadi tidak terelakkan. 
Proses ini mau tidak mau telah menyebabkan banyak orang merasakan kehilangan kontrol atas kehidupan mereka. Ketika rasa kekecewaan dan ketidakberdayaan itu semakin meningkat dalam ketersumbatan ruang partisipasi masyarakat di bawah hegemoni negara, suatu perlawanan untuk merebut kembali ruang partisipasi itu tidak bisa dielakan. Dengan berusaha merebut ruang partisipasi itu, rasionalitas komunikatif bisa dihadirkan kembali ke ruang publik. Sementara itu, dalam konstelasi global, ketika nation-states modern tidak mampu mengintegrasikan seluruh kekuatan masyarakat melalui kesejahteraan ekonomi dan pemuka-pemuka agama melalui imbalan resmi terhadap kekuatan religius mereka, perlawanan seringkali mengambil bentuk seruan untuk kembali kepada identitas dasar, di mana massa yang tersingkirkan dan bagian-bagian masyarakat lainnya yang tidak puas bisa merekonstruksi makna dan interpretasi baru terhadap kehidupan sosial sebagai alternatif terhadap tatanan yang ada. Namun demikian, sejalan dengan meningkatnya proses modernisasi dan globalisasi, kebijakan marginalisasi Islam politik tampaknya tidaklah bisa dipertahankan terus-menerus oleh negara. Ada saat-saat ketika negara mengalami apa yang disebut krisis legitimasi, yang semakin meluas sejak awal 1990-an. Krisis itu terjadi terutama ketika janji-janji modernisasi dan pembangunan gagal dipenuhi oleh negara. Untuk mencegah meluasnya krisis legitimasi itu, negara harus mencari pilar-pilar dukungan dan strategi baru. Di antaranya, negara menjalankan jurus yang oleh Olivier Roy, seorang ilmuwan politik Perancis, disebut "Islamisasi konservatif" (conservative Islamisation), yang terutama diarahkan pada penonjolan simbol-simbol agama di dalam wacana publik dan kenegaraan serta mengakomodasi kekuatan-kekuatan sosial-politik keagamaan. Bermunculanlah organisasi-organisasi, isntitusi-institusi dan berbagai hal lainnya yang bersimbolkan Islam. ICMI dibiarkan berkibar. Bank syariah didirikan di mana-mana sebagaimana halnya mesjid-mesjid atas sponsor negara. Seketika terjadi pembalikan arah kesejarahan negara, dari sebelumnya berwajah sekuler, di mana pemerintahan dan militer dikuasai oleh elite-elite nasionalis "merah-putih", menjadi berwarna hijau, ketika banyak tokoh Islam naik ke panggung politik nasional. 
Di belakang proyek Islamisasi konservatif yang dijalankan negara saat itu, terdapat banyak kelompok yang menaruh harapan dan kemudian mengafiliasikan diri ke dalamnya, atau paling tidak, merasa tengah menapaki arah yang sama. Hal semacam ini dipandang oleh banyak kalangan sebagai hal yang sangat menjanjikan. Umat Islam yang selama ini dipaksa bermain di pinggiran dan tidak diberikan banyak kesempatan dalam konstelasi politik nasional, menemukan jalan untuk menaiki panggung politik, sosial, dan ekonomi nasional. Kelompok-kelompok yang menaruh harapan tersebut datang dari berbagai segmen kekuatan masyarakat. Mereka meyakini bahwa kini adalah waktu yang tepat untuk mengendalikan panggung negara. Ke dalam barisan ini agaknya juga terdapat kelompok-kelompok yang sebelum pertengahan 1980-an aktif menentang negara dan berjuang menyuarakan pendirian negara Islam. Pada saat tertentu mereka bersikap keras menentang negara, dengan mengobarkan teror, seperti gerakan Komando Jihad, pembajakan pesawat garuda, dan pemboman Borobodur. Tetapi mereka sama sekali tidak berkutik menghadapi tindakan represif dari negara. Puncak ketidakberdayaan itu terjadi ketika pemerintah memaksa seluruh kekuatan sosial politik untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Untuk beberapa saat setelah itu, perlawanan terhadap negara benar-benar surut. Kalaupun mereka bertahan, mereka harus aktif di bawah tanah atau menyembunyikan wajah mereka yang sesungguhnya. Ketika krisis terjadi, apa yang menjadi tujuan kelompok-kelompok yang berafiliasi ke dalam gelombang besar Islamisasi sebagaimana digambarkan di atas, seketika menjadi buyar. Banyak sub-segmen yang terdapat di dalamnya kehilangan harapan dan mengalami rasa frustasi yang mendalam. Jalan yang sudah dirintis oleh mereka telah berbelok arah secara drastis. Harapan untuk secara perlahan-lahan mengambil alih kendali politik nasional menemukan jalan buntu. Sekalipun pemilu terakhir telah berusaha untuk mengakomodasi seluruh kekuatan sosial-politik masyarakat melalui saluran yang semestinya, tetapi tidak semua pihak merasa puas dan mendapatkan ruang keterwakilan mereka di panggung politik yang ada. Mereka merasa terpinggirkan kembali di dalam arus besar reformasi yang telah membawa Gus Dur ke kursi kepresidenan. Gerakan radikalisme agama yang kini tengah menyeruak bisa dipandang sebagai perlawanan terhadap hegemoni negara dari segmen masyarakat yang termarginalisasi dan terekslusi di dalam arus besar perubahan politik, sosial, dan ekonomi. Atau tepatnya, segmen masyarakat yang harapan-harapan mereka pernah dilambungkan tetapi seketika menjadi terhenti dengan terjadinya krisis multi-dimensi yang menimpa negeri ini. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat suara-suara mereka yang marginal bisa terdengar di ruang publik, sehingga jaringan makna yang telah hilang dalam relasi kekuasaan yang hegemonik bisa mereka rebut kembali. Karena hegemoni bekerja melalui wacana, maka gerakan radikalisme agama seringkali juga membuat wacana tandingan, di antaranya dengan mengeritik ungkapan politik nasional sekuler dan menawarkan alternatif terhadapnya. Roy telah menemukan fenomena serupa di banyak negara Islam belakangan ini, yang disebutnya sebagai gejala "neo-fundamentalisme radikal" (radical neo-fundamentalis). Gejala ini didefinisikannya sebagai sebuah gerakan yang berusaha mengislamkan masyarakat dari level grass-root melalui penerapan hukum Islam tanpa harus diformat dalam sebuah negara Islam. Ini terjadi sebagai akibat dari kegagalan "Islamisme", gerakan Islam politik modern yang mengklaim berjuang untuk menciptakan kembali sebuah masyarakat Islam yang sejati, tidak sekedar dengan mendesakkan berlakunya syariat Islam, tetapi dengan menciptakan sebuah tatanan yang Islami melalui aksi-aksi politik yang kadang-kadang revolusioner dan militan. Para pendukungnya melihat Islam tidak sekedar agama, tetapi ideologi politik yang harus diintegrasikan ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sekalipun Islamisme telah menemui kegagalan sejak 1980-an, tetapi penentangan-penentangan dan kritisismenya terhadap negara, menurut Roy, berhasil memaksa yang terakhir untuk mengintrodusir kebijakan Islamisasi konservatif-simbolik. Kebijakan semacam ini ternyata tidaklah berhasil mengubur Islamisme, bahkan telah memperluas konstituen-konstituen dan pendukung-pendukungnya. Ia hanya membungkam gerakan itu untuk sementara, tapi tidak pernah bisa menguburnya. Meskipun satu hal, bahwa target mereka semula untuk mendirikan negara Islam telah berlalu. Bagi mereka yang paling penting syariat Islam harus ditegakkan. Dan inilah yang mesti tetap diperjuangkan. Beberapa ciri yang ditunjukkan Roy mengenai gerakan neo-fundamentalisme radikal ini adalah, yang pertama, mereka mengkombinasikan jihad politik dan militansi terhadap segala hal yang beraroma Barat-sekuler dengan definisi Islam yang sangat konservatif. Mereka sangat menentang musik, seni dan hiburan, serta kehadiran perempuan dalam ruang publik. 
Yang kedua, gerakan ini bersifat supra-nasional. Terdapat jaringan internasional di mana para aktor gerakan ini dilatih dan dibekali dengan berbagai keterampilan militansi, di samping disediakan dana untuk mendukung aksi-aksi mereka dalam ranah nasional masing-masing. Yang ketiga, gerakan ini berusaha keras menunjukkan kegagalan "nation-state", yang diklaim terjepit di antara solidaritas kebangsaan dan globalisasi.