Gerakan Islam Radikal di Indonesia; Tinjauan Kritis Terhadap FPI

Perkembangan gerakan Islam di Indonesia akhir-akhir ini dimarakkan dengan bangkitnya gerakan Islam Radikal-Fundamentalis. Gerakan yang awalnya berjalan secara laten ini mulai menampakan diri secara terbuka pada dekade 1990-an. Hal ini ditandai dengan munculnya halaqah-halaqah di kampus-kampus dan meningkatnya jamaah-jamaah pengajian dengan pakain yang khas dan eksklusif. Gerakan Islam seperti ini muncul secara besar-besaran di kota-kota dan banyak menarik minat kalangan pelajar, mahasiswa dan kelompok terdidik lainnya.
Pada era 1970 dan awal 1980 Pemerintah Indonesia bersikap tegas terhadap gerakan Islam Radikal-Fundamentalis ini. Setiap muncul benih gerakan Islam Radikal, sekecil apapun ia akan ditumpas oleh Negara, bahkan harus berhadapan dengan militer. Hal ini terjadi karena Pemerintah tidak mau mengambil resiko atas munculnya gerakan Islam Radikal yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan negara.
Dalam hal ini, FPI bisa dikategorikan sebagai gerakan Islam Radikal-Fundamentalis karena. Pertama, secara tinjauan ideologis mereka bisa dikategorikan sebagai Fundamentalis dengan gerakan puritanisasi yang mereka lakukan bersifat mutlak dan tidak bisa diganggugugat oleh siapapun.[1] Kedua, dari sudut gerakan politik, mereka bisa dikategorikan sebagai salah satu ormas yang radikal dalam sudut tindakan sosial dan politik –meskipun yang menjadi sorotan media adalah tindak kekerasan yang meresahkan warga dengan melakukan sweeping atas beberapa tempat hiburan dengan dalih Amar Ma’ruf wa Nahi al-Munkar.[2] Namun kita juga tidak boleh menafikan beberapa kegiatan politik praktis yang dilakukan oleh FPI yang akan diulas oleh penulis pada pembahasan selanjutnya. 
Tinjauan Idiologis FPI
Sebagaimana yang dijeklaskan dalam dokumen Risalah Historis dan Garis Perjuangan FPI, asas atau ideologi gerakan yang dipakai FPI adalah Islam ala Ahlussunnah Wa Al-Jamaah (Aswaja). Menurut para pemimpin FPI, Aswaja yang dipahami FPI tidaklah sama yang dipahami oleh kalangan NU dan Muhammadiyah. Aswaja yang dipahami para aktivis FPI lebih mendekati pemahaman Aswaja menurut kelompok Salafi yang berlokomotifkan seorang Ustadh Ja’far Umar thalib di Yogyakarta. Menurut kelompok ini, Aswaja adalah mereka yang telah sepakat untuk berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam al-Qur’an dan al-Hadits dan mereka itu adalah para Sahabat dan Tabi’in. Titik tendensi perbedaan Aswaja ala FPI dan ormas lain (NU dan Muhammadiyah) adalah tentang otensitas agama pada wilayah ritus dan simbol. Menurut mereka, penghilangan ritus dan simbol keagamaan adalah tindakan “penentangan” terhadap Aswaja itu sendiri.[3] Keyakinan akan ritus dan simbol yang harus dipertahankan adalah bentuk pemikiran yang fundamental dalam Islam, oleh karena itu FPI juga bisa dikategorikan sebagai golongan Islam Fundamental.[4]
FPI juga sering dikaitkan dengan tema tentang Radikalisme Agama, tipologi ini diberikan kepadanya karena FPI mempunyai landasan ideologis yang relatif konservatif; namun, secara politik radikal dan militan. Mereka mengklaim tengah menghidupkan kembali jalan Salafi, Manhaj Salafi dan berjuang mengembalikan supremasi Syariat Islam untuk membawa Umat Islam keluar dari lilitan krisis multi-dimensial. Laskar Jihad misalnya, dia dinaungi oleh sebuah organisasi yang berlabel Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal-Jama'ah. Sementara laskar-laskar yang lain sebagian besar berafiliasi ke pesantren-pesantren atau komunitas-komunitas keagamaan yang bergiat di dalam alur faham keagamaan yang relatif sama. Namun demikian, mereka tidak segan-segan untuk mengacung-acungkan senjata dan meneriakkan "Allahu Akbar" untuk membela Islam –yang menurut mereka tengah terjepit.
Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah kota di mana kehadiran gerakan Radikalisme Agama paling dirasakan. Dia menjadi tempat di mana aksi-aksi besar gerakan tersebut dipusatkan. Ia juga menjadi saksi di mana aksi-aksi kekerasan dari gerakan semacam itu terjadi. 
Historitas Berdirinya FPI
Front Pembela Islam dideklarasikan pada17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren al-Um, Kampung Utan Ciputat Jakarta Selatan oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah se-Jabodetabek Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerjasama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan.[5]
FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998-an. Terutama yang dilakukan oleh Laskar Pembela Islam. Rangkaian aksi penutupan club malam dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat, ancaman terhadap warga negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media massa.
Dalam mencapai tujuan Amar Ma’ruf,  FPI mengutamakan metode bijaksana dan lemah lembut melalui langkah-langkah: mengajak dengan Hikmah (kebijaksanaan, lemah lembut), memberi nasihat yang baik dan berdiskusi dengan cara yang baik. Sedangkan dalam menjalani Nahi Munkar FPI mengutamakan sikap yang tegas melalui langkah-langkah: menggunakan kekuatan atau kekuasaan bila mampu dan menggunakan lisan dan tulisan, bila kedua langkah tersebut tidak mampu dilakukan, Nahi Munkar dilakukan dengan hati, yang tertuang dalam ketegasan sikap untuk tidak menyetujui segala bentuk kemungkaran. 
Arah Gerakan FPI
Dilihat dari akar sosial kelompok aktivis yang menggerakkan FPI, kami menemukan adanya empat lapisan sosial, yaitu: Para habaib dan ulama’, intelektual kampus dan mahasiswa, kelompok preman dan anak jalanan dan masyarakat awam.
Dari perspektif normatif, tidak ada perbedaan diantara keempat lapisan sosial aktivis FPI dalam memandang dan memposisikan Islam. Menurut mereka Islam tetap dipahami sebagai ajaran mulia yang akan membimbing keselamatan pemeluknya didunia dan akhirat. Akan tetapi, pada tataran praktis, masing-masing kelompok sosial memiliki pemahaman, cara pandang dan kepentingan yang berbeda-beda terhadap Islam. Perbedaan pemahaman cara pandang, dan kepentingan inilah yang menyebabkan munculnya perbedaan perlakuan dan penyikapan terhadap Islam.
FPI, dalam setiap melakukan aksi-aksinya selalu menggunakan ”simbol-simbol Islam” seperti surban, jubah, peci dst. Hal ini memang ditekankan dalam setiap aksinya agar supaya tidak terdapat penyusup yang mencoba membelokkan arah massa aksi dan pemakaian simbol ini juga bertujuan agar supaya publik opinion dapat terbangun seperti apa yang mereka inginkan, seperti pembenaran masyarakat –yang awam dengan agama- atas segala aksi yang dilakuakan.
Dari paparan diatas, tampak jelasa bahwa paham keagamaan yang menentukan arah gerak FPI tergolong bersifat skriptualis-simbolis, dengan menjaga otensitas ajaran sampai pada titik yang paling simbolik, meskipun hal itu harus dilakukan dengan melanggar substansi dari ajaran itu sendiri.[6]


[1] Lih: Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal: 52-58.
[2] Jika kita kaji secara teliti tentang tipologi yang diberikan oleh al-Zastrow (2006) terhadap FPI, maka kita juga akan temukan sifat yang sama dalam tipologi gerakan transnasional. Hal ini berarti, FPI bisa dikategorikan sebagai salah satu fragmen geraakan transnasional. Lihat dang bandingkan dengan: Abdurrahman Wahid & Hasyim Muzadi dkk, Mewaspadai Gerakan Transnasional, Lakpesdam-NU Cirebon dengan bekerjasama dengan PP Fatayat NU, 2007, cet-1, hal:
[3] Setidaknya terdapat enam alasan yang menjadikan ritus dan simbol dalam agama tidak boleh dihilangkan dalam keberagamaan menurut FPI. Pertama, para sahabat nabi adalah orang yang dicintai allah dan mereka pun mencintai allah (QS. Al-Fath [48]: 18). Kedua, sahabat adalah prodak bimbingan langsung nabi, dan kelak akan menggantikannya jika sudah meninngal (QS, al-Baqarah [2]: 143). Ketiga, sahabat adalah teladan utama setelah nabi (QS al-Baqarah [2]: 137). Keempat, kebaikan sahabat tidak mungkin disamai oleh umat pasca sahabat. Kelima, sahabat adalah penerus terbaik setelah nabi. Keenam, sahabat adalah orang pilihan allah untuk menemani nabi. Lih: Lih: Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal:98-99
[4] Bahkan dalam beberapa wacana yang berkembang di media elektronik, FPI bukanlah salah satu dari Gerakan Islam Fundamentalis, namun mereka sudah tergolong sebagai aliran Gerakan Islam Neo-Fundamentalis yang bersifat Wahabi namun lebih konfrontatif. Coba lihat: Sidik Permana, Mencermati Akar Gerak FPI, (Artikel dimuat dalam http://sidik-permana.blogspot.com/2008/06/mencermati-akar-gerakan-fpi.html), diakses pada: 13 Oktober 2010.
[5] Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal: 89.
[6] Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal: 100-101.