Perubahan Sosial Masyarakat Jakarta dan Radikalisme Agama (FPI, FKAWJ, MMI, dan HAMMAS)

Ribuan mata, beberapa bulan lalu, tertuju pada lautan laskar berjubah putih yang membanjiri Stadion Utama Senayan Jakarta dalam sebuah perhelatan tabligh akbar. Laskar berjubah putih itu tergabung di dalam kekuatan besar yang bernama Laskar Jihad. Di dalam tabligh akbar tersebut mereka meneriakkan kegetiran atas tragedi yang sedang menimpa umat Islam di Maluku, dan secara tegas mereka menyatakan kesiapan untuk terjun ke medan pertempuran di sana. Mereka juga "menyerang" Presiden Abdurrahman Wahid yang mereka anggap telah gagal mengemban tugas sebagai pemimpin umat Islam dan membiarkan negerinya terjebak dalam permainan konspirasi Barat dengan Zionis Israel. Beberapa kali kelompok semacam, bahkan yang berintikan mahasiswa, dengan memakai berbagai atribut khas mereka, turun ke jalan-jalan berdemonstrasi menentang berbagai kebijakan Gus Dur, seperti usulan pencabutan TAP MPR tentang pelarangan PKI. 
Belakangan mereka juga memprotes keras rencana kehadiran delegasi Israel di dalam Konferensi Parlemen se-Dunia di Jakarta dan bertekad untuk memblokir mereka di bandara dan tempat-tempat strategis lainnya; hal yang sebagian dipicu oleh penyerangan Israel yang didukung oleh kekuatan-kekuatan Barat, khususnya Amerika Serikat, atas umat Islam Palestina. Di kota yang sama hari-hari ini hampir tiap minggu kelompok Front Pembela Islam melakukan razia. Mereka mendatangi kafe-kafe, diskotik-diskotik, kasino-kasino, dan tempat-tempat lainnya yang mereka tuduh sebagai sarang maksiat dan membubarkan kegiatan di dalamnya tanpa bisa dirintangi secara berarti oleh petugas-petugas keamanan. Razia-razia ini tidak jarang diwarnai oleh aksi-aksi pengrusakan dan penghancuran. Isyarat tentang meningkatnya keberadaan kelompok yang menyebut diri mereka sebagai laskar di panggung nasional bahkan secara jelas terlihat awal Agustus lalu dalam Kongres Nasional Mujahidin pertama yang mengangkat tema "Penegakan Syariat Islam di Indonesia". Dalam kongres tersebut terdapat kurang lebih dua ribu peserta yang mewakili berbagai kelompok yang saat ini tengah menarik perhatian publik, seperti Laskar Santri, Laskar Mujahidin, Kompi Badar, Brigade Taliban, dan Pasukan Komando Mujahidin. Beberapa tokoh penting datang ke kongres tersebut, semisal Deliar Noer, Mansyur Suryanegara, Syahirul Alim, dan Alawi Muhammad. Selama tiga hari mereka mendiskusikan satu tema sentral dengan kesimpulan bahwa penegakan syariat Islam adalah hal yang mutlak untuk mengatasi berbagai krisis dan kerusakan yang terjadi saat ini. Fenomena gerakan-gerakan yang membawa muatan agama ini mencuat sejak terjadinya krisis multi-dimensi di negeri ini yang berakibat, di antaranya, lengsernya rezim Soeharto. Sejak saat itu, keberadaan mereka di panggung politik kenegaraan menjadi semakin tampak dan meningkat, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Aksi-aksi mereka dibalut oleh rasa kekhawatiran yang mendalam terhadap terjerambabnya Islam ke dalam bayang-bayang Barat sekuler, yang mereka yakini tengah menjalankan agenda untuk menghancurkan umat Islam dengan berbagai cara. 
Gerakan-gerakan semacam itu, yang dalam penelitian ini akan disebut sebagai radikalisme agama, mempunyai landasan ideologis yang relatif konservatif; namun, secara politik radikal dan militan. Mereka mengklaim tengah menghidupkan kembali jalan Salafi, Manhaj Salafi, dan berjuang mengembalikan supremasi syariat Islam untuk membawa umat Islam keluar dari lilitan krisis. Laskar Jihad, misalnya, dinaungi oleh sebuah organisasi yang berlabel Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal-Jama'ah. Sementara laskar-laskar yang lain sebagian besar berafiliasi ke pesantren-pesantren atau komunitas-komunitas keagamaan yang bergiat di dalam alur faham keagamaan yang relatif sama. Namun demikian, mereka tidak segan-segan untuk mengacung-acungkan senjata dan meneriakkan "Allahu Akbar" untuk membela Islam yang, menurut mereka, tengah terjepit. Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah kota di mana kehadiran gerakan radikalisme agama paling dirasakan. Ia menjadi tempat di mana aksi-aksi besar gerakan tersebut dipusatkan. Ia juga menjadi saksi di mana aksi-aksi kekerasan dari gerakan semacam itu terjadi. 
Dari aspek politik, gaung dari aksi-aksi yang dijalankan di Jakarta memang terbukti jauh lebih efektif daripada kota manapun di Indonesia, karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan, pusat kegiatan bisnis, dan lain-lainnya. Hal ini terutama didukung oleh peliputan mass-media yang terpusat di Jakarta. Di samping itu, Jakarta adalah kota yang paling menikmati dan sekaligus merasakan dampak dari proses modernisasi dan pembangunan. Maka, dengan sendirinya masyarakat Jakarta menjadi masyarakat yang langsung dan paling efektif bersentuhan dengan kedua proses itu. Fenomena radikalisme agama jelas tidak bisa dilepaskan dari arus deras modernisasi dan pembangunan yang dijalankan negara dalam rentang tiga puluh tahun terakhir. Sementara kolonisasi internal dari negara dan penetrasi rasionalitas ekonomi dan administrasi ke dalam kehidupan sehari-hari, dalam konteks modernisasi dan pembangunan itu, terus berlangsung. Negara tidak memberikan ruang yang cukup bagi seluruh segmen masyarakat untuk mengekspresikan diri dan kepentingan-kepentingan mereka. Ekspresi Islam politik, misalnya, cenderung dimarginalisasi dan dihambat karena dianggap akan dapat mengganggu jalannya proses modernisasi dan model pembangunan yang diterapkan. Sebagai konsekuensinya, muncul kekecewaan dan rasa ketidakberdayaan yang mendalam dari berbagai segmen masyarakat. Hal semacam ini turut dipercepat oleh meningkatnya proses globalisasi, ketika intensifikasi hubungan sosial seluruh dunia telah mengaburkan batas-batas geografis, sosial, dan politik di mana ketergantungan pada tatanan global dan intervensi lintas-budaya menjadi tidak terelakkan. 
Proses ini mau tidak mau telah menyebabkan banyak orang merasakan kehilangan kontrol atas kehidupan mereka. Ketika rasa kekecewaan dan ketidakberdayaan itu semakin meningkat dalam ketersumbatan ruang partisipasi masyarakat di bawah hegemoni negara, suatu perlawanan untuk merebut kembali ruang partisipasi itu tidak bisa dielakan. Dengan berusaha merebut ruang partisipasi itu, rasionalitas komunikatif bisa dihadirkan kembali ke ruang publik. Sementara itu, dalam konstelasi global, ketika nation-states modern tidak mampu mengintegrasikan seluruh kekuatan masyarakat melalui kesejahteraan ekonomi dan pemuka-pemuka agama melalui imbalan resmi terhadap kekuatan religius mereka, perlawanan seringkali mengambil bentuk seruan untuk kembali kepada identitas dasar, di mana massa yang tersingkirkan dan bagian-bagian masyarakat lainnya yang tidak puas bisa merekonstruksi makna dan interpretasi baru terhadap kehidupan sosial sebagai alternatif terhadap tatanan yang ada. Namun demikian, sejalan dengan meningkatnya proses modernisasi dan globalisasi, kebijakan marginalisasi Islam politik tampaknya tidaklah bisa dipertahankan terus-menerus oleh negara. Ada saat-saat ketika negara mengalami apa yang disebut krisis legitimasi, yang semakin meluas sejak awal 1990-an. Krisis itu terjadi terutama ketika janji-janji modernisasi dan pembangunan gagal dipenuhi oleh negara. Untuk mencegah meluasnya krisis legitimasi itu, negara harus mencari pilar-pilar dukungan dan strategi baru. Di antaranya, negara menjalankan jurus yang oleh Olivier Roy, seorang ilmuwan politik Perancis, disebut "Islamisasi konservatif" (conservative Islamisation), yang terutama diarahkan pada penonjolan simbol-simbol agama di dalam wacana publik dan kenegaraan serta mengakomodasi kekuatan-kekuatan sosial-politik keagamaan. Bermunculanlah organisasi-organisasi, isntitusi-institusi dan berbagai hal lainnya yang bersimbolkan Islam. ICMI dibiarkan berkibar. Bank syariah didirikan di mana-mana sebagaimana halnya mesjid-mesjid atas sponsor negara. Seketika terjadi pembalikan arah kesejarahan negara, dari sebelumnya berwajah sekuler, di mana pemerintahan dan militer dikuasai oleh elite-elite nasionalis "merah-putih", menjadi berwarna hijau, ketika banyak tokoh Islam naik ke panggung politik nasional. 
Di belakang proyek Islamisasi konservatif yang dijalankan negara saat itu, terdapat banyak kelompok yang menaruh harapan dan kemudian mengafiliasikan diri ke dalamnya, atau paling tidak, merasa tengah menapaki arah yang sama. Hal semacam ini dipandang oleh banyak kalangan sebagai hal yang sangat menjanjikan. Umat Islam yang selama ini dipaksa bermain di pinggiran dan tidak diberikan banyak kesempatan dalam konstelasi politik nasional, menemukan jalan untuk menaiki panggung politik, sosial, dan ekonomi nasional. Kelompok-kelompok yang menaruh harapan tersebut datang dari berbagai segmen kekuatan masyarakat. Mereka meyakini bahwa kini adalah waktu yang tepat untuk mengendalikan panggung negara. Ke dalam barisan ini agaknya juga terdapat kelompok-kelompok yang sebelum pertengahan 1980-an aktif menentang negara dan berjuang menyuarakan pendirian negara Islam. Pada saat tertentu mereka bersikap keras menentang negara, dengan mengobarkan teror, seperti gerakan Komando Jihad, pembajakan pesawat garuda, dan pemboman Borobodur. Tetapi mereka sama sekali tidak berkutik menghadapi tindakan represif dari negara. Puncak ketidakberdayaan itu terjadi ketika pemerintah memaksa seluruh kekuatan sosial politik untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Untuk beberapa saat setelah itu, perlawanan terhadap negara benar-benar surut. Kalaupun mereka bertahan, mereka harus aktif di bawah tanah atau menyembunyikan wajah mereka yang sesungguhnya. Ketika krisis terjadi, apa yang menjadi tujuan kelompok-kelompok yang berafiliasi ke dalam gelombang besar Islamisasi sebagaimana digambarkan di atas, seketika menjadi buyar. Banyak sub-segmen yang terdapat di dalamnya kehilangan harapan dan mengalami rasa frustasi yang mendalam. Jalan yang sudah dirintis oleh mereka telah berbelok arah secara drastis. Harapan untuk secara perlahan-lahan mengambil alih kendali politik nasional menemukan jalan buntu. Sekalipun pemilu terakhir telah berusaha untuk mengakomodasi seluruh kekuatan sosial-politik masyarakat melalui saluran yang semestinya, tetapi tidak semua pihak merasa puas dan mendapatkan ruang keterwakilan mereka di panggung politik yang ada. Mereka merasa terpinggirkan kembali di dalam arus besar reformasi yang telah membawa Gus Dur ke kursi kepresidenan. Gerakan radikalisme agama yang kini tengah menyeruak bisa dipandang sebagai perlawanan terhadap hegemoni negara dari segmen masyarakat yang termarginalisasi dan terekslusi di dalam arus besar perubahan politik, sosial, dan ekonomi. Atau tepatnya, segmen masyarakat yang harapan-harapan mereka pernah dilambungkan tetapi seketika menjadi terhenti dengan terjadinya krisis multi-dimensi yang menimpa negeri ini. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat suara-suara mereka yang marginal bisa terdengar di ruang publik, sehingga jaringan makna yang telah hilang dalam relasi kekuasaan yang hegemonik bisa mereka rebut kembali. Karena hegemoni bekerja melalui wacana, maka gerakan radikalisme agama seringkali juga membuat wacana tandingan, di antaranya dengan mengeritik ungkapan politik nasional sekuler dan menawarkan alternatif terhadapnya. Roy telah menemukan fenomena serupa di banyak negara Islam belakangan ini, yang disebutnya sebagai gejala "neo-fundamentalisme radikal" (radical neo-fundamentalis). Gejala ini didefinisikannya sebagai sebuah gerakan yang berusaha mengislamkan masyarakat dari level grass-root melalui penerapan hukum Islam tanpa harus diformat dalam sebuah negara Islam. Ini terjadi sebagai akibat dari kegagalan "Islamisme", gerakan Islam politik modern yang mengklaim berjuang untuk menciptakan kembali sebuah masyarakat Islam yang sejati, tidak sekedar dengan mendesakkan berlakunya syariat Islam, tetapi dengan menciptakan sebuah tatanan yang Islami melalui aksi-aksi politik yang kadang-kadang revolusioner dan militan. Para pendukungnya melihat Islam tidak sekedar agama, tetapi ideologi politik yang harus diintegrasikan ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sekalipun Islamisme telah menemui kegagalan sejak 1980-an, tetapi penentangan-penentangan dan kritisismenya terhadap negara, menurut Roy, berhasil memaksa yang terakhir untuk mengintrodusir kebijakan Islamisasi konservatif-simbolik. Kebijakan semacam ini ternyata tidaklah berhasil mengubur Islamisme, bahkan telah memperluas konstituen-konstituen dan pendukung-pendukungnya. Ia hanya membungkam gerakan itu untuk sementara, tapi tidak pernah bisa menguburnya. Meskipun satu hal, bahwa target mereka semula untuk mendirikan negara Islam telah berlalu. Bagi mereka yang paling penting syariat Islam harus ditegakkan. Dan inilah yang mesti tetap diperjuangkan. Beberapa ciri yang ditunjukkan Roy mengenai gerakan neo-fundamentalisme radikal ini adalah, yang pertama, mereka mengkombinasikan jihad politik dan militansi terhadap segala hal yang beraroma Barat-sekuler dengan definisi Islam yang sangat konservatif. Mereka sangat menentang musik, seni dan hiburan, serta kehadiran perempuan dalam ruang publik. 
Yang kedua, gerakan ini bersifat supra-nasional. Terdapat jaringan internasional di mana para aktor gerakan ini dilatih dan dibekali dengan berbagai keterampilan militansi, di samping disediakan dana untuk mendukung aksi-aksi mereka dalam ranah nasional masing-masing. Yang ketiga, gerakan ini berusaha keras menunjukkan kegagalan "nation-state", yang diklaim terjepit di antara solidaritas kebangsaan dan globalisasi.

Monisme Moral; Runtuhkan Humanisme Sekuler

    Belakangan ini banyak kita jumpai kejadian-kejadian yang mengenaskan di sekitar kita, dari terjadinya Perang Dunia ke-I dan II, Perang Dingin, hingga isu rekayasa Perang Dunia ke-III antara Islam dan Non-Islam, insiden 09 November yang melegitimasi Amerika untuk mengkolonialisasi Afganistan dan Irak, sampai mahalnya harga beras lokal dan susu bayi yang mengakibatan keresahan-keresahan dalam diri dan lingkungan kita. Keresahan-keresahan tersebut dengan gampangnya kita dapatkan hanya dengan membuka diri untuk membiarkan hati nurani kita memasuki supermarket-supermarket keresahan sejarah, dimana didalamnya terdapat berbagai macam bentuk keresahan dari kesengsaraan sejarah manusia yang dipampang dengan fulgar di dalam etalase-etalase kehidupan, yang setiap saat dapat kita beli dengan murah. Dan ketika kita membelinya, kita akan segera merasakan bagaimana tercekiknya tenggorokan kita akibat teririsnya nilai-nilai Humanisme, bagaikan tercekiknya tenggorokan para kaum Yahudi dalam kamp konsentrasi Nazi dalam fenomena Holocaust.
    Semua kejadian mengerikan tersebut bukan tanpa alasan dan tidak terjadi begitu saja, semua berjalan dengan terencana dan terkontrol dengan baik. Kontrol dan perencanaan dari kejadian tersebut adalah Rasionalisme yang bercirikan monistis desdrukrif sebagai warisan Modernisme. Kedua corak pemikiran tersebut adalah sebuah moralitas warisan Filsafat Barat yang mendahulukan aspek Rasionalisme tanpa diimbangi dengan nilai-nilai Humanisme sebagai penyeimbangnya, sehingga menjadi faktor munculnya tindakan yang merugian umat manusia dan mengancam keberlangsungan sejarah manusia sebagai koloni yang sehat.
    Monisme Moral sangat berbahaya bagi keberlangsungan sejarah umat manusia, sebut saja legitimasi John Lock (tokoh Liberal Klasik) bagi kolonialisasi Kerajaan Inggris atas bangsa Indian di Benua Amerika dengan alibi membantu dalam peningkatan peradaban bangsa Indian yang terbelakang. Namun seiring berjalannya kekuasaan Kerajaan Inggris di Benua tersebut, Bangsa Indian pun ditumpas dengan beberapa alasan politik. Hal ini jelas sangat merugikan Bangsa Indian sebagai bangsa pribumi benua tersebut dan menciderai sejarah umat manusia. Contoh selanjutnya adalah pengaruh Machiavelli atas Napoleon Bonaparte dalam upanyanya menguasai Benua Eropa yang menjadi akar Perang Dunia I. Dari sini dapat kita ambil benang merah, bahwa keterkaitan antara pemikiran Monistis dan keberlangsungan segala bentuk imperialisme sangat erat kaitannya. Singkatnya, cara pandang monistik dalam sejarah pemikiran filsafat sangat berbahaya, karena Monismelah yang mendasari apa yang disebut Totalitarianisme. Karena dalam Monisme, ada klaim kebenaran tunggal dan absolusitas kebenaran. Jika ada satu kebenaran yang sahih, maka secara langsung pendapat atau kebenaran lain menjadi tidak sahih, atau belum sahih. Persoalannya buan terletak pada kebenaran, tapi siapa yang berhak menentukan sebuah kebenaran itu sahih dan tidak?.
    Dari titik tumpu dan landasan pemikiran inilah makalah ini kami buat. Besar harapan agar makalah ini dapat mendeskripsikan dengan jelas dan lugas segala bentuk fenomena yang berkaitan dengan Monisme Moral dan dapat dijadikan referensi bagi para pengembara ilmu baik dalam bidang akademis maupun non-akademis.
    Didalam makalah ini, kami akan menyinggung beberapa pembahasan seperti: pertama. pengertian ‘Monisme,’ ‘Moral,’ ‘Monisme Moral’ dan beberapa term derivatifnya dalam kajian filsafat. Kedua. monisme moral; sebuah analisis ciri-ciri, faktor-faktor kemunculan, arah gerak dan dampak tindakan. Ketiga, pemikiran dan tokoh-tokoh monisme moral dalam tradisi Yunani, Kristen dan Liberal Klasik.

Monisme Moral; Sebuah Analisis Ciri, Faktor Kemunculan, Arah Gerak dan Dampak Tindakan
1.    Ciri-Ciri Monisme Moral
Secara garis besar, ciri-ciri dari Monisme Moral dan atau pemikiran dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk. Pertama, Monisme mengandaikan bahwa semua pertanyaan yang benar pastilah memiliki satu jawaban yang benar, dan hanya satu, semua jawaban yang lain pasti salah. Jika jawaban ini tidak kita ketahui, pasti ada orang lain yang mengetahui, generasi selanjutnya mungkin mengetahui, para nabi yang mungkin mengetahui, atau setidaknya Tuhanlah yang mengetahui. Kedua, kebenaran jawaban tersebut pasti bisa diketahui dengan menggunakan metode yang bisa direalisasikan dan diajarkan kepada semua ummat manusia. Ketiga, kebenaran diandaikan saling kompatibel dengan kebenaran yang lain.
2.    Faktor-Fator Kemunculan dan Upaya Pencegahan Monisme Moral
Akar kemunculan Monisme moral secara sigkat dapat dilatarbelakangi oleh beberapa hal sebagai berikut:
-    Minimnya pendidikan diluar pemikiran mainstream, sehingga mengakibatkan legitimasi berlebihan bagi pemikiran tersebut.
-    Kurangnya kesadaran akan kehidupan majemuk dan toleransi.
-    Kurangnya pendidikan tentang multikulturalisme dan pluralisme.
-    Fanatisme membabi-buta, sehingga menimbulkan laim kebenaran tertentu.
-    Gerakan-gerakan tersembunyi dengan kepentingan menyimpang, dan lain sebagainya.
Mengacu pada analisis guru besar tamu pada London School of Economic dan Guru besar untuk perkuliahan Teori Politik di Universitas of Hull, Bhikhu Parekh dalam bukunya yang berjudul: Rethinking of Multiculturalism; Keberagaman Budaya dan Teori Politik, bahwa pada dasarnya setiap pemikiran dan atau moral bisa menjadi sebuah pemikiran yang monistis, yang kemudian dapat mengakibatkan fanatisme buta dan tindakan fatalistik, jika tidak diimbangi dengan pengetahuan diluar pengetahuan mainstream dan pengedepanan nilai-nilai toleransi sebagai suatu pencegahan. Menurutnya, pemikiran monistis adalah sebuah keniscayaan dari apa yang disebut dengan multikultralisme, akan tetapi kenyataan tersebut sangat rentan menimbulkan gesekan kultural bahkan politis antar masyarakat.
Dalam upaya membendung segala bentuk monistisme yang desdruktif, terdapat tiga gagasan utama Bhikhu Parekh dalam Rethinking of Multiculturalism; Keberagaman Budaya dan Teori Politik, dan gagasan ini sering disalah artikan oleh sebagaian orang sehingga tidak sedikit kritik yang harus dijawab oleh Parekh. Adapun gagasan tersebut yakni: pertama, manusia secara kultural tumbuh dan hidup dalam dunia yang terstruktur secara kultural, mengorganisasikan kehidupan dan hubungan-hubungan sosial menurut sistem makna dan nilai, memposisikan nilai yang besar tentang identitas kultural mereka. Hal ini tidak berarti bahwa manusia ditentukan oleh kebudayaan mereka sepenuhnya, dalam artian bahwa manusia tidak mampu mengevaluasi keyakinan dan praktik-praktik kebudayaan secara kritis serta memahami sesamanya, namun lebih pada bahwa mereka dibentuk begitu kuat oleh kebudayaan, mampu mengatasi pengaruh kebudayaan, dan perlu memandang dunia dari dalam kebudayaan tersebut.
Kedua, kebudayaan yang berbeda mencerminkan sistem makna dan pandangan tentang jalan hidup yang baik. Karena masing-masing merealisasikan satu jangkauan terbatas menyangkut kapasitas dan emosi manusia dan menggenggam hanya sebagian dari totalitas eksistensi manusia. Masing-masing kebudayaan memerlukan kebudayaan lain untuk memahami dirinya secara lebih baik, memperluas cakrawala intelektual dan moral, mengembangkan imajinasi, dan melindunginya terhadap gangguan-gangguan nyata untuk memutlakkan dirinya.
Ketiga, semua kebudayaan –kecuali yang paling primitif secara internal- pada dasarnya bersifat majemuk dan mencerminkan sebuah percakapan berkelanjutan antara tradisi dan rangkaian gagasan mereka yang berbeda-beda. Hal ini tidak berarti bahwa mereka kekurangan koherensi internal dan identitas, tetapi bahwa identitas mereka majemuk dan cair.
Selanjutnya, Parekh juga menyadari bahwa filsafat politik ala Barat tidak sanggup menyelesaikan berbagai macam persoalan yang berkaitan dengan keniscayaan multikulturalisme, karena menurutnya, realitas sosial masyarakat Barat tidak terlalu kompleks jika dibandingkan dengan realitas sosial masyarakat Timur. Sehingga filsafat politik ala masyarakat Timur lebih menarik untuk dijadian cara pandang dalam penyelesaian persoalan mulitkulturalisme karena keanekaragaman realitasnya.
3.    Anilisis Dampak dari Tindakan Pemikiran Monistis
Pemikiran Monistis bersifat sangat eksklusif dan tidak mau bercengkrama dengan pemikiran-pemikiran lain diluar pemikiran mainstream, keeksklusifan ini menimbulkan banyak masalah bagi indahnya keanekaragaman pemikiran pada dimensi manusia karena sering terjadinya klaim kebenaran yang tumbuh subur dalam pemikiran tersebut, sehingga kemudian dapat mengakibatkan fanatisme membabi-buta yang dapat menimbulkan tindakan-tindakan merugikan bagi kelompok lain diluarnya.
Baru-baru ini, tepat pada tanggal: 25 September 2011 pukul: 10.46 WIB, telah terjadi bom bunuh diri di Gereja Kepunton Solo, dengan jumlah korban 1 orang meninggal dan 19 orang luka-luka.  Pengeboman tersebut jelas-jelas mencederai indahnya kerukunan beragama di Indonesia, karena sekali lagi bangunan toleransi yang digagas oleh guru-guru bangsa tercoreng untuk kesekian kalinya.
Menurut penulis, kejadian ini ada kaitannya dengan eksklusifitas pemikiran kaum fundamental yang sering mengklaim bahwa kebenaran hanya milik golongan mereka. Pola eksklusifitas pemikiran yang dicirikan oleh komunitas ini tidak lebih adalah sebagian dari banyaknya contoh Monisme Moralitas yang bersifat desdruktif. Maka dari itu, Monisme Moralitas sangat berbahaya bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara.
Tidak hanya itu, semua bentuk peperangan yang pernah dicatat oleh sejarah umat manusia. Baik peperangan yang berbau agama, atau peperangan yang berbau perebutan kekuasaan, mayoritas diantaranya ditenggarai oleh Monisme Moral. Sebut saja Perang Salib yang mengatasnamanakan agama, dimana perang tersebut dilegitimasi oleh pihak gereja sebagai perang suci yang memperebutan Kuil Solomon kota suci Yerusallem. Meskipun kekinian banyak indikasi dari bukti-bukti yang mengatakan bahwa peperangan tersebut bukan murni perang agama, melainkan perang yang bermotifkan perebutan harta karun Kuil Solomon yang dimotori oleh pasuan Jesuit, sebuah pasukan yang ditugaskan untuk merebut dan menjaga Kuil Solomon pasca Perang Salib I. 
Contoh selanjutnya adalah Perang Dunia I yang ditujukan untuk menghancurkan Kerjaan Tsar Rusia dan akan digantikan oleh Komunisme yang akan digunakan untuk menyerang agama, terutama Kristiani. Perang Dunia II yang dimotori oleh gerakan Nazi didasari oleh kontroversi antara Fasisme dan politik Zionisme dengan pembunuhan orang Yahudi pada kamp konsentrasi sebagai pemancing kebencian dunia terhadap Nazi dan Jerman. Perang ini dirancang untuk menghancurkan Fasisme dan meningkatkan pengaruh politik para Zionist. Tujuan lain adalah untuk meningkatkan pengaruh Komunisme ke level yang bisa menandingi kekuatan Kristiani.
Yang lebih mengerikan lagi adalah kontroversi isu tentang Perang Dunia III yang dirancang dengan menciptakan kebencian terhadap dunia Muslim dengan menempatkan mereka untuk berperang melawan kekuatan Zionist. Saat itu terjadi, negara-negara lain di dunia akan terpaksa berperang satu sama lain dengan menyebabkan kehancuran bagi mental, fisik, spiritual, dan ekonomi mereka.

Pemikiran dan Tokoh-Tokoh Monisme Moral dalam Tradisi Yunani, Kristen dan Liberal Klasik
1.    Monisme Moral; Tradisi Pemikiran Yunani
    Monisme Moral dalam tradisi Yunani dapat dideteksi dari pemikiran-pemikiran yang monistis yang dihasilkan pada waktu itu. Di dalam tradisi Yunani, terdapat dua periodesasi tokoh yang menjadi simbol pemikiran monistis pada zamannya, yakni pemikiran monistis pra-Socrates dan pasca-Socrates. Adapun pemikiran-pemikiran tersebut yakni:
a.    Pemikiran Monistis Pra-Socrates
-    Thales (625-545 SM), meyakini bahwa realitas hanya berasal dari air.
-    Anaximander (610-547 SM), realitas adalah Apeiron (sesuatu yang ada tapi tidak dapat diketahui).
-    Anaximenes (585-528 SM), meyakini bahwa realitas hanya berasal dari udara.
-    Heracleitos, meyakini bahwa realitas hanya berasal dari Api (dalam arti, segala sesuatu pasti berubah).
-    Parmenides, meyakini bahwa realitas hanya berasal dari Satu, realitas adalah suatu lingkaran sempurna yang tidak bergerak, tidak berubah, dan tidak terbagi.
b.    Pemikiran Monistis Pasca-Socrates
-    Plato, yang percaya hanya matematika yang dapat menjadi jalan menuju kebenaran.
-    Aristoteles, yang percaya bahwa hanya biologi yang dapat menjadi jalan menemukan kebenaran.
-    Neophytagorean, seperti Apollonius yang memusatkan kosmologis menjadi Monad atau Satu. Berikut ini adalah gambar Monad yang menjadi referensi sebagian filsuf Yunani:
Gambar 01: Monad

-    Platonisme Abad Pertengahan, seperti Numenius yang mengekspresikan bahwa alam semesta berasal dari Monad atau Satu.
-    Neoplatonisme juga Monistik. Plotinus mengajarkan adanya Tuhan yang transenden, Yang Maha Esa, yang menjadi sumber munculnya realitas selanjutnya. Dari Tuhan muncul Nous, Psyche, dan Cosmos.
2.    Monisme Moral; Tradisi Pemikiran Kristen
    Fenommena Monisme Moral didalam tradisi Kristen tampak jelas dengan terjadinya perang saudara antar Kristen Katolik dan cikal bakal Kristen Protestan selama ± 30 tahun. Peperangan ini kemudian memicu keprihatinan para filsuf seperti John Locke (1634-1704 M), Leibniz (1646-1716 M), F. Hegel (1770-1831 M) dan J.J. Rousseau (1712-1738 M); yang mencoba mencari resolusi penghentian peperangan dengan mengenalkan nilai-nilai Pluralisme dalam beberapa diskursus yang berbeda.
    Fenomena Monisme Moral didalam tradisi Kristen juga didapati pada wilayah teologi eksklusif Katolik yang berlangsung selama ratusan tahun, terhitung mulai ditetapkannya Teologi Kristologi pada Konsili Nisea dan Kalsedon pada abad ke 4 dan abad ke 5 M,  teologi ini kemudian menjadi ideologi ekslusif Kristiani. Ekskulisivitas ini menjadikan Monisme pemikiran yang didasarkan pada doktrin mengenai kesatuan hipostatik atau kurang sempurna yang mengakui keunikan Yesus sebagai manusia sekaligus Allah, atau pribadi kedua dari Tri Tunggal yang sama kedudukannya.
    Posisi eksklusifitas teologi Kristen semakin Nampak ketika diselenggarakannya Konsili Florence pada tahun 1442 M yang menetapkan doktrin Extra Ecclessiam Nulla Salus. Apalagi ketetapan tersebut didukung Paus Paulus II yang mengobarkan semangat eksklusifitas yang kemudian disokong oleh aliran Yansenisme, maka doktrin ini semakin memperkokoh gerakan Kristenisasi, terutama seiring dengan kolonialisme Eropa atas dunia Timur pada abad ke 18-19 M, yang berboncengan dengan Orientalisme dan Evangelisme.
    Seiring dengan pergeseran budaya, wacana keilmuan dan tuntutan kontemporer dalam kerukunan antar umat beragama, pergeseran sikap dari teologi eksklusif ke teologi inklusifpun menjadi sebuah keniscayaan di dalam agama risten. Pergeseran teologi ekslusif ke teologi inklusif terelaborasi menjadi teologi pluralis, pergeseran tersebut ditandai oleh terciptanya gagasan Nostra Aetate pada Konsili Vatikan tahun 1962-1965 M.  Konsili ini menjadi babak baru sejarah umat Kristen yang mulai menjalin hubungan dengan umat non-Kristen. Kemudian gagasan tersebut secara resmi ditindaklanjuti dengan dibentuknya sekretariat antarumat beragama. Sekretariat ini mengadakan dan memfasilitasi dialog-dialog antaragama, yang dilakukan baik di negara-negara Timur seperti Mesir, Yordania, Maroko dan Irak, maupun di negara Barat seperti Roma.
    Konsili Vatikan II merevisi ulang eksklusivitas doktrin teologi Extra Ecclesiam Nulla Salus yang dirumuskan dalam Konsili Florence tahun 1442 M. Hans Kung,  menyatakan bahwa:

“……….. pasca Konsili Vatikan II tahun 1962-1965 M, melahirkan keyakinan teologis bagi umat Kristen bahwa ada dua jalan untuk meraih keselamatan, yakni jalan Kristiani dan jalan non-Kristiani. Dengan pandangan bahwa agama-agama di luar Kristen juga merupakan jalan keselamatan, maka karenanya klaim bahwa Kristianitas adalah satu-satunya jalan keselamatan (eksklusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan yang lain (inklusif) haruslah ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis……………….” 

    Pandangan inklusif yang telah diawali dalam sejarah Konsili Vatikan II tersebut dilanjutkan di abad ke 21. Pandangan positif dimaksud, antara lain ditandai dengan mulai tumbuhnya kesadaran di kalangan tokoh-tokoh Kristen, bahwa sesungguhnya agama merupakan jalan spiritual dan manifestasi relasi manusia dengan Tuhan. Karena itu, agama tidak bisa dipaksakan, bahkan meniscayakan penghormatan dan penghargaan, sehinggga memunculkan berbagai rintisan jalan dialogis terutama antara Kristen dan non-Kristen. Knitter misalnya, berpandangan bahwa  tujuan akhir dari agama Kristen bukanlah pengkristenan dunia, namun bagaimana agar manusia mampu menjalin relasi harmonis dengan Tuhan, dan menjadikan agama sebagai sumber etika dan moral universal.
Singkatnya, Monisme Moral yang terdapat pada tradisi Kristen tampak jelas pada: pertama, meletusnya perang saudara anta umat Kristen Katolik dan cikal-bakal Kristen Protestan selama ± 30 tahun. Kedua, sifat doktrin Teologi Kristologi pada Konsili Nisea dan Kalsedon pada abad ke 4 dan ke 5 M, terlebih lagi ketika Konsili Florence pada tahun 1442 M menetapkan doktrin Extra Ecclessiam Nulla Salus yang menjadi legitimasi Kristenisasi dunia yang berboncengan dengan kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat ke no-Barat, meskipun pada Konsili Florence tahun 1442 M doktrin tersebut direvisi ulang oleh Vatikan II sehingga menghasilkan teologi yang lebih pluralis dan inklusif.
3.    Monisme Moral; Tradisi dan Ciri-Ciri Pemikiran Liberal Klasik
Liberal Klasik sering diasosiasian dengan para pemikir-pemikir abad pencerahan yang menitik beratkan pada kebebasan hak dan keinginan dari kekangan penguasa. Liberal Klasik sering dikaitkan juga dengan teori-teori ekonomi. Adapun penemu paham Liberal Klasik adalah:
-    Nicollo Machiavelli (Florence, 1469-1567), seorah tokoh Liberal terbaik yang dienal dengan pendapatnya II Principe. Dia pendiri aliran realis filosofi politis yang mendukung pemerintahan republik, angkatan perang negara, divisi kekuasaan, perlindungan milik perorangan, dan pengekangan pembelanjaan pemerintah sebagai kebebasan suatu republik. Ia juga berpendapat bahwa kebutuhan individu sebagai suatu karakteristik yang penting sebagai kepemerintahan yang stabil. Ia berargumentasi bahwa sebaik-baiknya kebebasan individu masih perlu dilindungi oleh legitasi serta regulasi yang baik dari pemerintah. Menurutnya, liberalisme adalah ideologi dari kebebasan individu dan bersifat sukarela atau fakultatif. Salah-satu pemikiran Machiavelli yang dapat dikategorikan sebagai pemikiran monistis adalah argumentasinya yang menganjurkan seorang penguasa untuk melakukan berbagai cara guna mendapatkan keuasaan yang diinginkan, argumentasi inilah yang kemudian menjadi legitimasi bagi Napoleon Bonaparte untuk ekspansi wilayah guna menguasai seluruh Benua Eropa. Adapun karya fenomenal yang cukup controversial lainnya yang dihasilan Machiavelli seperti: Discorsi Sopra la Prima Deca di Tito Livio, 1512-1517 M.
-    Desiderius Erasmus (Belanda, 1466-1536), dia adalah seorang tokoh Liberal. Dalam karyanya De Libero Arbitrio Diatribe Sive Collatio (1524), ia meneliti dengan kepintaran dan kejeniusannya untuk menghapus keterbatasan hidup sebagai pernyataan atas kebebasan manusia. Beberapa hasil karyanya Lof d Zotheid, 1509 dan De Libero Arbitrio Diatribe Sive Collatio, 1524.
Selain Nicollo Machiavelli terdapat beberapa pemikir monistis di dalam faham Liberal Klasik, seperti:
-    John Lock (1634-1704 M), ia merupakan ahli filsafat dan fisika asal Inggris. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Thomas Hobbes. Ia mengatakan bahwa keserakahan individu diyakini untuk menemukan hukum-hukum alam dan melindungi hak-hak kepemilikan, dan pemerintah mempunyai peran hanya sebatas melindungi hak-hak tersebut. Dalam bukunya Two Treatises of Government (1689), ia mengatakan bahwa saat tugas individu bergabung dengan alam, maka bagian dari alam tersebut menjadi miliknya karena alam tersebut tidak dimiliki siapapun dan tak seorang pun termasuk pemerintah yang dapat menggugatnya secara hukum. Locke mendukung tentang menghimpun kekayaan milik pribadi walaupun semakin memperbesar jurang ketidaksamaan. Terlebih lagi, J. Lock juga melegitimasi kolonialisasi Kerajaan Inggris atas Bangsa Indian di Benua Amerika, kolonialisasi tersebut menjadi babak pertama kesengsaraan bangsa Indian sebagai bangsa pribumi di Benua Amerika.
-    Thomas Malthus (1766-1834 M), ia merupakan professor sejarah dan ekonomi politik asal Inggris. Dalam bukunya An Essay on the Principle of Population (1798), mengatakan populasi tumbuh lebih cepat daripada suplai kebutuhan, sehingga menyebabkan manusia akan tumbuh dengan kelaparan dan wabah penyakit karena kekurangan suplai kebutuhan. Malthus juga mendukung hak-hak menghimpun kekayaan karena menurutnya itu bermanfaat bagi masyarakat, dan menolak usaha-usaha membantu orang miskin. Pemikiran yang tidak mengndahkan nilai-nilai humanism dan cenderung mengorbankan nasib orang lain inilah yang mencirikan pemikiran monistisnya.
-    Baruch Spinoza, filsuf modern yang berpendapat bahwa hanya satu substansi, yaitu tuhan.
Adapun yang menjadi premis-premis dan prinsip mendasar yang sekaligus mencirikan pemikiran Liberal Klasik yakni:
-    Sifat dasar manusia: mempunyai kepentingan diri dan bertindak sendiri untuk memuaskan apa yang diinginkannya.
-    Masyarakat: mempunyai kepentingan berbeda-beda karena terdiri dari banyak individu, namun tetap memperbolehkan masing-masing mengejar keinginannya.
-    Pemerintah: melindungi hak-hak individu melalui konstitusi (undang-undang).
-    Moralitas: hendaknya individu dibebaskan dalam menentukan baik buruknya sebuah moralitas yang dipakai.
-    Kebebabasan: tidak ada paksaan dari siapa pun.
-    Otoritas: hanya dimiliki oleh masing-masing individu sebagai otonomi bukan pengekangan.
-    Persamaan hak: memiliki kesempatan yang sama dalam ekonomi dan perlindungan hak.
-    Keadilan: perlindungan hak oleh konstitusi.
-    Efisiensi: sumber-sumber dialokasikan kepada orang yang banyak keinginan dan yang mampu membayar.

Penutup

Seluruh kejadian mengenaskan yang tercatat didalam sejarah, baik dari mulai mahalnya harga pangan, gerakan teorisme yang pada hari Minggu 25 September 2011 melaksanakan aksi bom bunuh diri di Gereja Kepunton Solo, runtuhnya Menara Kembar dan meledaknya gedung Pentagon pada 09 November yang menjadi legitimasi Amerika untuk kolonialisasi Irak dan Afganistan, Perang Dingin hingga Perang Dunia I dan II sampai pada isu kontroversi Perang Dunia III. Semuanya tidak lain dimotori oleh sebuah pemikiran monistis yang dibarengi dengan gerakan-gerakan rahasia.
Pada dasarnya, pemikiran monistis adalah warisan dari beberapa pemikiran filsuf yang dapat diategorikan menjadi tiga, yakni: pertama, zaman Yunani pra dan pasca Socrates, seperti:  Thales (625-545 SM); Anaximenes (585-528 SM); Anaximander (610-547 SM); Heracleitos; Parmenides; Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM),; Aliran Neophytagorean seperti Apollonius; Aliran Platonisme Abad Pertengahan seperti Numenius; dan Aliran Neoplatonisme seperti Plotinus. Kedua, pada Agama Kristen dalam kurun waktu sebelum Konsili Vatikan II tahun 1962-1965 M, dan mendapatkan puncaknya ketika berboncengan dengan agenda kolonialisme Bangsa Eropa. Ketiga, pada era Liberal Klasik, dan beberpa tokohnya seperti: John Lock (1634-1704 M), Machiavelli (Florence, 1469-1567), Thomas Malthus (1766-1834 M), dan B. Spinoza.
Singkatnya, cara pandang monistik dalam sejarah pemikiran sangat berbahaya, karena Monismelah yang mendasari apa yang disebut Totalitarianisme. Karena dalam Monisme, ada klaim kebenaran tunggal dan absolusitas kebenaran. Jika ada satu kebenaran yang sahih, maka secara langsung pendapat atau kebenaran lain menjadi tidak sahih, atau belum sah. Persoalannya buan terletak pada kebenaran, tapi siapa yang berhak menentukan sebuah kebenaran itu sahih dan tidak?.
Adapun upaya untuk menanggulangi merebaknya epidemi penyakit Monisme Moral menurut Bhikhu Parekh dalam Rethinking of Multiculturalism; Keberagaman Budaya dan Teori Politik adalah: pertama, mengatasi pengaruh budaya luar dengan budaya sendiri, dan memahami serta memandang dunia dari kebudayaan cang bermacam-macam. Kedua, meyaini bahwa kebudayaan sendiri membutuhkan kebudayaan lain dalam segi eksistensi kebudayaan sendiri. Ketiga, memahami bahwa tinggi rendahnya sebuah kebudayaan bukan berarti menjadikan kebudayaan yang rendah kekurangan koherensi internal dan identitas, aan tetapi bahwa identitas mereka majemuk dan cair.

Daftar Pustaka
Akasheh, Khaled & Riyanto, Armada. Sikap Dialogal Gereja: Komitmennya  Dalam Dialog dengan Islam dalam Agama-Kekerasan Membongkar Eksklusivisme. Armada Riyanto (ed.). Malang: Dioma-STFT Widyasasana. 2000. 
Armstrong, Karen.  Sejarah Tuhan; Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun. (terj.) Zaimul Am. Bandung : Mizan, 2001.
Coward, Harold. “Pluralisme Tantangan Bagi Agama-agama.” Jakarta: Kanisius. 1989.
    Hadiwijono, Harun. Seri Sejarah Filsafat Barat II. Jakarta: Kanisius. 1980.
    Kung, Hans. “Sebuah Model Dialog Kristen-Islam” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina Vol-1 No-1. Juli-Desember (1998).
    Panikkar, Raimundo. Dialog Intra Religius. Yogyakarta: Kanisius. 1999.
    Parekh, Bhikhu. Rethinking of Multiculturalism; Keberagaman Budaya dan Teori Politik, Jakarta: Kanisius. 2008.
    Prima Pena, Tim. Kamus Ilmiah Populer; Referensi Ilmiah Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Sains, Surabaya: Gitamedia Press. 2006. cet: 1.
    Saidiman. Aahmad. Monismee Pembaharuan Cak Nur. Artikel dimuat dalam Jurnal Jaringan Islam Liberal yang diposting di: http://islamlib.com/id/artikel/Monismee-pembaharuan-cak-nur/
    Surajiyo. Filsafat Ilmu; Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2005.
    Yahya, Harun. Ancaman Global Freemsonry.

    Referensi Elektronik
-    http://id.wikipedia.org/wiki/Illuminaty
-    http://id.wikipedia.org/wiki/Freemasonry
-    http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pembicaraan:Monismee/
-    http://islamlib.com/id/artikel/Monismee-pembaharuan-cak-nur/
-    http://metronews.com/bomkepuntonsolo/

Ekonomi Libido dan Masyarakat Ekstasi; Sebuah Kebudayaan Bujuk Rayu


“Masa Lalu Hanya Dapat Ditangap Sebagai Citraan yang Bersinar Seketika dan Kemudian Lenyap tak Berbekas.”
(Walter Benjamin: ‘Theses on the Philosophy of History; Illumination,’ Schocken Books, 1969, hal: 255)

“Saya Menatap Diri Saya Tengah Menatap Diri Saya Sendiri.”
(Jacques Lacan: ‘The Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis,’ Penguin, 1977, hal: 81)

Kondisi kehidupan didalam masyarakat consumer sekarang iini adalah sebuah kondisi yang didalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu –nafsu kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, ebugaran, keindahan, kesenangan; sementara hanya menyisaan sedikit ruang bagi penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan, dan pencerahan spiritualitas.
Didalam kebudayaan yang dikuasai oleh hawa nafsu ketimbang kedalaman spiritualitas, maka sebuah revolusi kebudayaan tak lebih sabagai sebuah revolusi penghambaan diri bagi pelepasan hawa nafsu. Felix Guattari, seorang dari banyak pemikir kontemporer yang melihat bahwa kini tidak ada lagi perjuangan revolusioner yang dapat hiidup tanpa penghambaan diri dari pembebasan pelepasan hawa nafsu.[1] Dengan mendekonstruksi norma-norma dan moralitas yang mengatur (membatasi) hawa nafsu; dengan melepaskan belenggu dan membiarkan hidup dalam keanekaragaman bentuk seksual dan erotika (waria, lesbian, masokisme), sehingga lepaslah perbedaan antara normal dan abnormal; dengan membuka selubung diri selebar-lebarnya (Madonna, Michael Jacson, Janet Jacson, Syugara), sehingga lenyaplah dimensi rahasia; dengan membua katup dan membiarkan modal kapital mengalir sebebas-bebasnya sehingga lenyaplah nilai guna (coba ingat fenomena akses ekonomi pasar bebas berupa kuis, undian, bonus, lotre, judi); dengan menghanyutkan diri sedalam-dalamnya dengan gairah kesenangan, citraan dan tontonan (music, sepak bola, game, tv) sehingga lenyaplah batasan-batasan antara realitas dan fantasi, maka dari semuanya inilah revolusi kebudayaan ala Guattari dapat bersemi. Revolusi ini yang mencapai titik ekstremnya akan semakin mempersempit ruang bagi perenungan, penghambaan, dan pencerahan spiritual.
Dengan membuka lebarnya hawa nafsu, maka menurut Jean Baudrillard, pusat gravitasi dunia kini telah digantikan oleh apa yang disebutnya ekonomi libdo, yaitu yang berkaitan dengan pengembangbiaan dan naturilasi hawa nafsu.[2] Didalam eonomi libido, apapun dapat diproduksi, normal, tanpa rahasia, dan nyata. Mengalir dan berpusat pada masyarakat ekstasi, mengikuti hokum mengalirnya nilai tukar dalam system ekonomi pasar bebas; mesin (hawa nafsu) harus berputar, model harus diganti secara konstan, penampilan harus diperbaharui. Seperti halnya perpuraran modal, perputaran hawa nafsu didak akan dapat terpenuhi, dan tidak berujung.
Didalam masyarakat consumer dan ekstasi yang seluruh energy dipusatkan pada pembebasan dan pemenuhan hawa nafsu, didalamnya diskursus komunikasi tidak lagi ditopang oleh system makna dan pesan-pesan, melainan oleh system bujuk rayu –sebuah system omunikasi yang menjunjung tinggi kepalsuan, ilusi, penampakan ketimbang makna-makna.
Sebuah rayuan menurut Baudrillard beroprasi melalui pengosongan tanda-tanda dari pesan dan makna, sehingga yang tersisa adalah penampakan semata. Sebentuk wajah merayu yang penunh dengan etebalan make-up adalah wajah kosong makna, sebab penampilan dan artiifisial dan palsunya menyembunyikan kebenaran diri. Apa yang ditampilkan rayuan adalah kepalsuan dan kesemuan.[3] Apa yang diinginkan melalui rayuan bukanlah sampainya pesan dan makna-makna, melainkan munculkan keterpesonaan, ketergiuran, dan gelora nafsu: gelora seksual, belanja, dan berkuasa.
Oleh karena rayuan tida pernah berhenti pada kebenaran tanda, melainan beroperasi melalui pengelabuan dan kerahasiaan, maka ia menjadi sebuah wacana menenggelamkan manusia selamanya kedalam lembah kesemuan. Disinilah letak amoralitasnya rayuan, yang menggelincirkan setiap orang dari kebenaran dan menjauhkannya dari pengasahan spiritual, karena tergoda penampakan visual semata.[4]
Sebatang tubuh –sebagaimana sebuah iklan, atau sebuah permainan Nintendo yang menggoda; disciptakan untuk menandai sesuatu, namun lewat tanda-tanda yang tanpa mana. Semuanya diselimuti oleh penampakan ilusi, perangkap, parody dan simulasi. Semuanya membentuk dunia keterpesonaan –dunia yang dibangun oleh citraan-citraan dan ilusi kekuasaan, kenyamanan, kegairahan dan ekstasi; sebuah dunia dengan Kebudayaan Bujuk Rayu.

[1] Felix Guattari, Molecular Revolution: Psychiatry and Politics, Penguin Books, 1981, hal: 187.
[2] Jean Baudrillard, Seduction, St Martins Press, 1990, hal: 38.
[3] Jean Baudrillard, Seduction, St Martins Press, 1990, hal: 78.
[4] Jean Baudrillard, Seduction, St Martins Press, 1990, hal: 84

Gerakan Islam Radikal di Indonesia; Tinjauan Kritis Terhadap FPI

Perkembangan gerakan Islam di Indonesia akhir-akhir ini dimarakkan dengan bangkitnya gerakan Islam Radikal-Fundamentalis. Gerakan yang awalnya berjalan secara laten ini mulai menampakan diri secara terbuka pada dekade 1990-an. Hal ini ditandai dengan munculnya halaqah-halaqah di kampus-kampus dan meningkatnya jamaah-jamaah pengajian dengan pakain yang khas dan eksklusif. Gerakan Islam seperti ini muncul secara besar-besaran di kota-kota dan banyak menarik minat kalangan pelajar, mahasiswa dan kelompok terdidik lainnya.
Pada era 1970 dan awal 1980 Pemerintah Indonesia bersikap tegas terhadap gerakan Islam Radikal-Fundamentalis ini. Setiap muncul benih gerakan Islam Radikal, sekecil apapun ia akan ditumpas oleh Negara, bahkan harus berhadapan dengan militer. Hal ini terjadi karena Pemerintah tidak mau mengambil resiko atas munculnya gerakan Islam Radikal yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan negara.
Dalam hal ini, FPI bisa dikategorikan sebagai gerakan Islam Radikal-Fundamentalis karena. Pertama, secara tinjauan ideologis mereka bisa dikategorikan sebagai Fundamentalis dengan gerakan puritanisasi yang mereka lakukan bersifat mutlak dan tidak bisa diganggugugat oleh siapapun.[1] Kedua, dari sudut gerakan politik, mereka bisa dikategorikan sebagai salah satu ormas yang radikal dalam sudut tindakan sosial dan politik –meskipun yang menjadi sorotan media adalah tindak kekerasan yang meresahkan warga dengan melakukan sweeping atas beberapa tempat hiburan dengan dalih Amar Ma’ruf wa Nahi al-Munkar.[2] Namun kita juga tidak boleh menafikan beberapa kegiatan politik praktis yang dilakukan oleh FPI yang akan diulas oleh penulis pada pembahasan selanjutnya. 
Tinjauan Idiologis FPI
Sebagaimana yang dijeklaskan dalam dokumen Risalah Historis dan Garis Perjuangan FPI, asas atau ideologi gerakan yang dipakai FPI adalah Islam ala Ahlussunnah Wa Al-Jamaah (Aswaja). Menurut para pemimpin FPI, Aswaja yang dipahami FPI tidaklah sama yang dipahami oleh kalangan NU dan Muhammadiyah. Aswaja yang dipahami para aktivis FPI lebih mendekati pemahaman Aswaja menurut kelompok Salafi yang berlokomotifkan seorang Ustadh Ja’far Umar thalib di Yogyakarta. Menurut kelompok ini, Aswaja adalah mereka yang telah sepakat untuk berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam al-Qur’an dan al-Hadits dan mereka itu adalah para Sahabat dan Tabi’in. Titik tendensi perbedaan Aswaja ala FPI dan ormas lain (NU dan Muhammadiyah) adalah tentang otensitas agama pada wilayah ritus dan simbol. Menurut mereka, penghilangan ritus dan simbol keagamaan adalah tindakan “penentangan” terhadap Aswaja itu sendiri.[3] Keyakinan akan ritus dan simbol yang harus dipertahankan adalah bentuk pemikiran yang fundamental dalam Islam, oleh karena itu FPI juga bisa dikategorikan sebagai golongan Islam Fundamental.[4]
FPI juga sering dikaitkan dengan tema tentang Radikalisme Agama, tipologi ini diberikan kepadanya karena FPI mempunyai landasan ideologis yang relatif konservatif; namun, secara politik radikal dan militan. Mereka mengklaim tengah menghidupkan kembali jalan Salafi, Manhaj Salafi dan berjuang mengembalikan supremasi Syariat Islam untuk membawa Umat Islam keluar dari lilitan krisis multi-dimensial. Laskar Jihad misalnya, dia dinaungi oleh sebuah organisasi yang berlabel Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal-Jama'ah. Sementara laskar-laskar yang lain sebagian besar berafiliasi ke pesantren-pesantren atau komunitas-komunitas keagamaan yang bergiat di dalam alur faham keagamaan yang relatif sama. Namun demikian, mereka tidak segan-segan untuk mengacung-acungkan senjata dan meneriakkan "Allahu Akbar" untuk membela Islam –yang menurut mereka tengah terjepit.
Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah kota di mana kehadiran gerakan Radikalisme Agama paling dirasakan. Dia menjadi tempat di mana aksi-aksi besar gerakan tersebut dipusatkan. Ia juga menjadi saksi di mana aksi-aksi kekerasan dari gerakan semacam itu terjadi. 
Historitas Berdirinya FPI
Front Pembela Islam dideklarasikan pada17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren al-Um, Kampung Utan Ciputat Jakarta Selatan oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah se-Jabodetabek Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerjasama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan.[5]
FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998-an. Terutama yang dilakukan oleh Laskar Pembela Islam. Rangkaian aksi penutupan club malam dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat, ancaman terhadap warga negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media massa.
Dalam mencapai tujuan Amar Ma’ruf,  FPI mengutamakan metode bijaksana dan lemah lembut melalui langkah-langkah: mengajak dengan Hikmah (kebijaksanaan, lemah lembut), memberi nasihat yang baik dan berdiskusi dengan cara yang baik. Sedangkan dalam menjalani Nahi Munkar FPI mengutamakan sikap yang tegas melalui langkah-langkah: menggunakan kekuatan atau kekuasaan bila mampu dan menggunakan lisan dan tulisan, bila kedua langkah tersebut tidak mampu dilakukan, Nahi Munkar dilakukan dengan hati, yang tertuang dalam ketegasan sikap untuk tidak menyetujui segala bentuk kemungkaran. 
Arah Gerakan FPI
Dilihat dari akar sosial kelompok aktivis yang menggerakkan FPI, kami menemukan adanya empat lapisan sosial, yaitu: Para habaib dan ulama’, intelektual kampus dan mahasiswa, kelompok preman dan anak jalanan dan masyarakat awam.
Dari perspektif normatif, tidak ada perbedaan diantara keempat lapisan sosial aktivis FPI dalam memandang dan memposisikan Islam. Menurut mereka Islam tetap dipahami sebagai ajaran mulia yang akan membimbing keselamatan pemeluknya didunia dan akhirat. Akan tetapi, pada tataran praktis, masing-masing kelompok sosial memiliki pemahaman, cara pandang dan kepentingan yang berbeda-beda terhadap Islam. Perbedaan pemahaman cara pandang, dan kepentingan inilah yang menyebabkan munculnya perbedaan perlakuan dan penyikapan terhadap Islam.
FPI, dalam setiap melakukan aksi-aksinya selalu menggunakan ”simbol-simbol Islam” seperti surban, jubah, peci dst. Hal ini memang ditekankan dalam setiap aksinya agar supaya tidak terdapat penyusup yang mencoba membelokkan arah massa aksi dan pemakaian simbol ini juga bertujuan agar supaya publik opinion dapat terbangun seperti apa yang mereka inginkan, seperti pembenaran masyarakat –yang awam dengan agama- atas segala aksi yang dilakuakan.
Dari paparan diatas, tampak jelasa bahwa paham keagamaan yang menentukan arah gerak FPI tergolong bersifat skriptualis-simbolis, dengan menjaga otensitas ajaran sampai pada titik yang paling simbolik, meskipun hal itu harus dilakukan dengan melanggar substansi dari ajaran itu sendiri.[6]


[1] Lih: Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal: 52-58.
[2] Jika kita kaji secara teliti tentang tipologi yang diberikan oleh al-Zastrow (2006) terhadap FPI, maka kita juga akan temukan sifat yang sama dalam tipologi gerakan transnasional. Hal ini berarti, FPI bisa dikategorikan sebagai salah satu fragmen geraakan transnasional. Lihat dang bandingkan dengan: Abdurrahman Wahid & Hasyim Muzadi dkk, Mewaspadai Gerakan Transnasional, Lakpesdam-NU Cirebon dengan bekerjasama dengan PP Fatayat NU, 2007, cet-1, hal:
[3] Setidaknya terdapat enam alasan yang menjadikan ritus dan simbol dalam agama tidak boleh dihilangkan dalam keberagamaan menurut FPI. Pertama, para sahabat nabi adalah orang yang dicintai allah dan mereka pun mencintai allah (QS. Al-Fath [48]: 18). Kedua, sahabat adalah prodak bimbingan langsung nabi, dan kelak akan menggantikannya jika sudah meninngal (QS, al-Baqarah [2]: 143). Ketiga, sahabat adalah teladan utama setelah nabi (QS al-Baqarah [2]: 137). Keempat, kebaikan sahabat tidak mungkin disamai oleh umat pasca sahabat. Kelima, sahabat adalah penerus terbaik setelah nabi. Keenam, sahabat adalah orang pilihan allah untuk menemani nabi. Lih: Lih: Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal:98-99
[4] Bahkan dalam beberapa wacana yang berkembang di media elektronik, FPI bukanlah salah satu dari Gerakan Islam Fundamentalis, namun mereka sudah tergolong sebagai aliran Gerakan Islam Neo-Fundamentalis yang bersifat Wahabi namun lebih konfrontatif. Coba lihat: Sidik Permana, Mencermati Akar Gerak FPI, (Artikel dimuat dalam http://sidik-permana.blogspot.com/2008/06/mencermati-akar-gerakan-fpi.html), diakses pada: 13 Oktober 2010.
[5] Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal: 89.
[6] Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal: 100-101.

Post-Tradisionalisme Islam; Sebuah Loncatan Gerakan Sosial dalam Memahami Keberagamaan

"Concentration on articulating intellectual dynamism taking place within NU community till the rising of Post-Traditional Islam pattern of though, tracking down factors having an effect on pattern of such though, and discovering patterns of liberalism developing within the community exercising the paradigm of the Post-Traditional Islam..... the rising of young generation of the community with new progressive vision is unique and remarkable trend. This change of vision can not be separated from the role of Achmad Siddiq and Abdurrahman Wahid. The progressive pattern of thought nowadays has been institutionalized among non-governments organizations of the Traditionalist community young generation, called themselves Post-Traditionalist Islam community....."
_Dr. Rumadi

Sebuah wacana Islam di Indonesia yang dalam kurun waktu satu dekade terakhir menjadi sorotan publik dunia adalah Post-Tradisionalisme Islam.

Berbicara Post-Tradisionalisme Islam tidak akan bisa dilepaskan dari akar konteks dan sejarah dimana wacana tersebut lahir. Post-Tradisionalisme Islam lahir sebagai wacana yang menjadi vis-a-vis bagi Neo-Liberalisme Islam, Post-Tradisionalisme Islam juga sering diinstitusikan sebagai identitas bagi sebuah komunitas anak muda NU yang menjawab kesalahan fonis stagnasi yang sering digembor-gemborkan oleh kalangan Neo-Modernis Islam.

Post-Tradisionalisme Islam sebagai sebuah komunitas anak muda NU yang mempunyai visi progressif yang berperan penting dalam diskursus wacana Islam di Indonesia, salah satunya adalah konsep Toleransi Beragama yang digaungkan oleh Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid adalah salah satu anak muda  NU yang menjadi identitas bagi komunitas Post-Tradisionalisme Islam -sebagaimana yang ungkapkan oleh Dr. Rumadi. Konsep Toleransinya Abdurrahman Wahid dipakai oleh hampir mayoritas anak muda NU yang terkumpul dalam komunitas Post-Tradisionalisme Islam seperti Ahmad Baso, Dr. Rumadi, Zaki Mubarok, Uday Mashudi, Abdullah Kamil, Hery Hariyanto Azumi, Zuhairi Masrawi dan beberapa intelektual muda NU lain yang aktif dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menjadi pintu utama dalam memahami keberagamaan sebagai sebuah konsekuensi dalam kehidupan sosial yang heterogen, sebuah konsep dimana penghargaan terhadap keberagamaan harus diilhami dalam suatu gerakan sosial.

Awal mula kelahiran wacana ini banyak ditentang oleh beberapa kalangan yang mengatasnamakan diri sebagai Neo-Modernis Islam, mereka mengklaim bahwa wacana Post-Tradisionalisme Islam mempunyai kecacatan dalam wilayah epistemologis dan hanya menawarkan konsep metodologis yang kaku. Namun semua klaim dan tuduhan kalangan Neo-Modernis tersebut tidak mendasar dan cenderung memaksakan diri, seperti halnya pertama, klaim bahwa wacana Post-Tradisionalisme Islam hanya sebagai wacana counter discourse bagi wacana Modernisme Islam dan beberapa turunannya; padahal secara epistemologis, wacana Post-Tradisionalisme Islam hanya membahas loncatan perkembangan epistemologis di kalangan anak muda NU yang menjawab tuduhan tidak mendasar (jumud, kaku dan kolot), sebuah tuduhan yang menghalalkan berbagai cara dari dan demi menuruti nafsu essensialisme kaum Modernis dan Neo-Modernis Islam.

Kedua, wacana Post-Tradisionalisme Islam mencoba mengangkat realitas dan positioning dunia Pesantren bagi kemajuan bangsa Indonesia dan perkembangan agama Islam, sebuah realitas yang menurut Abdurrahman Wahid memiliki ciri khas yang hanya didapat di Pesantern, yakni: 1). Pesantren memiliki sistem sosial tersendiri, dimana sistem tersebut sebagai miniatur kehidupan sosial masyarakat secara makro, dan cocok untuk menciptakan kader-kader bangsa yang tangguh dan mengerti cara baca dalam memahami kelokalitasan dan kekontekstualan suatu bangsa; 2). Pesantren memiliki policy yang hanya dapat ditemukan didalamnya, namun yang lebih mengesankan lagi adalah; 3). Pesantren mendidik jiwa-jiwa yang menghargai lokalitas, namun bervisi internasional, hal ini terbukti dengan kurikulum yang dipakai dalam studinya yang lintas batas suku, ras, dan bangsa; sebuah kurikulum ala kitab kuning yang sampai sekarang masih menjadi basis keilmuan bagi kalangan Tradisonalis Islam.

Ketiga, Post-Tradisionalisme Islam mencoba memahami Islam sebagai sebuah agama dengan nilai-nilai yang relevan bagi semua kalangan, dalam hal ini, pendekatan yang dipakai oleh kalangan Post-Tradisionalisme Islam adalah "Kritik Nalar Islam" Mohammed Arkoun dan "Kritik Nalar Arab" Mohammed Abed al-Jabiri. Kedua konsep tersebut berusaha memahami Islam sebagai agama yang lepas dari paradigma sejarah dan budaya yang selalu subjektif.

Post-Tradisionalisme Islam adalah sebuah wacana yang selalu menjadi paradigma gerakan sosial dalam memahami keberagamaan yang ada di Indonesia seharusnya mendapatkan apresiasi yang sangat besar di kalangan dunia Islam, namun bagi beberapa kalangan -seperti Neo-Modernis Islam dan beberapa variannya seperti Wahabiyyah dan kaum Fundamentalis Islam- selalu menolak eksistensi Post-Tradisionalisme Islam baik sebagai wacana maupun sebagai paradigma gerakan sosial dalam memahami keberagamaan yang terfragmen menjadi sebuah komunitas-komunitas gerakan sosial seperti PMII dengan landasan epistemologis yang tidak mendasar dan cenderung terlihat seperti Political Will an sich dengan orientasi kekuasaan semu. Padahal kalau kita telusuri, akar-akar epistemologis kalangan Neo-Modernis memiliki akar pemikiran yang sama dengan kalangan Fundamentalis Islam yang sering dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan terorisme yang melukai identitas Islam sebagai agama yang Rohmatan lil 'Alamin. Dari fakta bahwa kaum Neo-Modernis dan Fundamentalis Islam memiliki akar pemikiran yang sama tersebut, maka terdapat beberapa kaum Intelektual Modernis Islam seperti Nurcholis Madjid dan Amin Rais mencoba meninjau kembali dan berfikir ulang tentang landasan epitemologis Fazlurrahman tentang Noe-Modernisme Islam.

Pada titik ini, kita telah mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya Post-Tradisionalisme Islam itu sendiri. Sebagai sebuah wacana yang tidak hanya berada pada wilayah konsepsi, namun sudah sebagai paradigma memfragmenkan diri sebagai gerakan sosial dalam memahami keberagamaan yang digerbongi oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan dilokomitifi oleh anak-anak muda NU menjadi kekuatan mainstream dalam mendahulukan tindakan-tindakan berbasis toleransi dalam beragama, yang dimulai dari Indonesia untuk Islam di seluruh dunia; dari konsep klasik NU al-Muhafadhotu 'ala Qodim a-Sholih wa al-Akhdlu bi al-Jadid al-Ashlah untuk Islam yang Rahmatan lil 'Alamin.