Ekonomi Libido dan Masyarakat Ekstasi; Sebuah Kebudayaan Bujuk Rayu


“Masa Lalu Hanya Dapat Ditangap Sebagai Citraan yang Bersinar Seketika dan Kemudian Lenyap tak Berbekas.”
(Walter Benjamin: ‘Theses on the Philosophy of History; Illumination,’ Schocken Books, 1969, hal: 255)

“Saya Menatap Diri Saya Tengah Menatap Diri Saya Sendiri.”
(Jacques Lacan: ‘The Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis,’ Penguin, 1977, hal: 81)

Kondisi kehidupan didalam masyarakat consumer sekarang iini adalah sebuah kondisi yang didalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu –nafsu kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, ebugaran, keindahan, kesenangan; sementara hanya menyisaan sedikit ruang bagi penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan, dan pencerahan spiritualitas.
Didalam kebudayaan yang dikuasai oleh hawa nafsu ketimbang kedalaman spiritualitas, maka sebuah revolusi kebudayaan tak lebih sabagai sebuah revolusi penghambaan diri bagi pelepasan hawa nafsu. Felix Guattari, seorang dari banyak pemikir kontemporer yang melihat bahwa kini tidak ada lagi perjuangan revolusioner yang dapat hiidup tanpa penghambaan diri dari pembebasan pelepasan hawa nafsu.[1] Dengan mendekonstruksi norma-norma dan moralitas yang mengatur (membatasi) hawa nafsu; dengan melepaskan belenggu dan membiarkan hidup dalam keanekaragaman bentuk seksual dan erotika (waria, lesbian, masokisme), sehingga lepaslah perbedaan antara normal dan abnormal; dengan membuka selubung diri selebar-lebarnya (Madonna, Michael Jacson, Janet Jacson, Syugara), sehingga lenyaplah dimensi rahasia; dengan membua katup dan membiarkan modal kapital mengalir sebebas-bebasnya sehingga lenyaplah nilai guna (coba ingat fenomena akses ekonomi pasar bebas berupa kuis, undian, bonus, lotre, judi); dengan menghanyutkan diri sedalam-dalamnya dengan gairah kesenangan, citraan dan tontonan (music, sepak bola, game, tv) sehingga lenyaplah batasan-batasan antara realitas dan fantasi, maka dari semuanya inilah revolusi kebudayaan ala Guattari dapat bersemi. Revolusi ini yang mencapai titik ekstremnya akan semakin mempersempit ruang bagi perenungan, penghambaan, dan pencerahan spiritual.
Dengan membuka lebarnya hawa nafsu, maka menurut Jean Baudrillard, pusat gravitasi dunia kini telah digantikan oleh apa yang disebutnya ekonomi libdo, yaitu yang berkaitan dengan pengembangbiaan dan naturilasi hawa nafsu.[2] Didalam eonomi libido, apapun dapat diproduksi, normal, tanpa rahasia, dan nyata. Mengalir dan berpusat pada masyarakat ekstasi, mengikuti hokum mengalirnya nilai tukar dalam system ekonomi pasar bebas; mesin (hawa nafsu) harus berputar, model harus diganti secara konstan, penampilan harus diperbaharui. Seperti halnya perpuraran modal, perputaran hawa nafsu didak akan dapat terpenuhi, dan tidak berujung.
Didalam masyarakat consumer dan ekstasi yang seluruh energy dipusatkan pada pembebasan dan pemenuhan hawa nafsu, didalamnya diskursus komunikasi tidak lagi ditopang oleh system makna dan pesan-pesan, melainan oleh system bujuk rayu –sebuah system omunikasi yang menjunjung tinggi kepalsuan, ilusi, penampakan ketimbang makna-makna.
Sebuah rayuan menurut Baudrillard beroprasi melalui pengosongan tanda-tanda dari pesan dan makna, sehingga yang tersisa adalah penampakan semata. Sebentuk wajah merayu yang penunh dengan etebalan make-up adalah wajah kosong makna, sebab penampilan dan artiifisial dan palsunya menyembunyikan kebenaran diri. Apa yang ditampilkan rayuan adalah kepalsuan dan kesemuan.[3] Apa yang diinginkan melalui rayuan bukanlah sampainya pesan dan makna-makna, melainkan munculkan keterpesonaan, ketergiuran, dan gelora nafsu: gelora seksual, belanja, dan berkuasa.
Oleh karena rayuan tida pernah berhenti pada kebenaran tanda, melainan beroperasi melalui pengelabuan dan kerahasiaan, maka ia menjadi sebuah wacana menenggelamkan manusia selamanya kedalam lembah kesemuan. Disinilah letak amoralitasnya rayuan, yang menggelincirkan setiap orang dari kebenaran dan menjauhkannya dari pengasahan spiritual, karena tergoda penampakan visual semata.[4]
Sebatang tubuh –sebagaimana sebuah iklan, atau sebuah permainan Nintendo yang menggoda; disciptakan untuk menandai sesuatu, namun lewat tanda-tanda yang tanpa mana. Semuanya diselimuti oleh penampakan ilusi, perangkap, parody dan simulasi. Semuanya membentuk dunia keterpesonaan –dunia yang dibangun oleh citraan-citraan dan ilusi kekuasaan, kenyamanan, kegairahan dan ekstasi; sebuah dunia dengan Kebudayaan Bujuk Rayu.

[1] Felix Guattari, Molecular Revolution: Psychiatry and Politics, Penguin Books, 1981, hal: 187.
[2] Jean Baudrillard, Seduction, St Martins Press, 1990, hal: 38.
[3] Jean Baudrillard, Seduction, St Martins Press, 1990, hal: 78.
[4] Jean Baudrillard, Seduction, St Martins Press, 1990, hal: 84

Gerakan Islam Radikal di Indonesia; Tinjauan Kritis Terhadap FPI

Perkembangan gerakan Islam di Indonesia akhir-akhir ini dimarakkan dengan bangkitnya gerakan Islam Radikal-Fundamentalis. Gerakan yang awalnya berjalan secara laten ini mulai menampakan diri secara terbuka pada dekade 1990-an. Hal ini ditandai dengan munculnya halaqah-halaqah di kampus-kampus dan meningkatnya jamaah-jamaah pengajian dengan pakain yang khas dan eksklusif. Gerakan Islam seperti ini muncul secara besar-besaran di kota-kota dan banyak menarik minat kalangan pelajar, mahasiswa dan kelompok terdidik lainnya.
Pada era 1970 dan awal 1980 Pemerintah Indonesia bersikap tegas terhadap gerakan Islam Radikal-Fundamentalis ini. Setiap muncul benih gerakan Islam Radikal, sekecil apapun ia akan ditumpas oleh Negara, bahkan harus berhadapan dengan militer. Hal ini terjadi karena Pemerintah tidak mau mengambil resiko atas munculnya gerakan Islam Radikal yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan negara.
Dalam hal ini, FPI bisa dikategorikan sebagai gerakan Islam Radikal-Fundamentalis karena. Pertama, secara tinjauan ideologis mereka bisa dikategorikan sebagai Fundamentalis dengan gerakan puritanisasi yang mereka lakukan bersifat mutlak dan tidak bisa diganggugugat oleh siapapun.[1] Kedua, dari sudut gerakan politik, mereka bisa dikategorikan sebagai salah satu ormas yang radikal dalam sudut tindakan sosial dan politik –meskipun yang menjadi sorotan media adalah tindak kekerasan yang meresahkan warga dengan melakukan sweeping atas beberapa tempat hiburan dengan dalih Amar Ma’ruf wa Nahi al-Munkar.[2] Namun kita juga tidak boleh menafikan beberapa kegiatan politik praktis yang dilakukan oleh FPI yang akan diulas oleh penulis pada pembahasan selanjutnya. 
Tinjauan Idiologis FPI
Sebagaimana yang dijeklaskan dalam dokumen Risalah Historis dan Garis Perjuangan FPI, asas atau ideologi gerakan yang dipakai FPI adalah Islam ala Ahlussunnah Wa Al-Jamaah (Aswaja). Menurut para pemimpin FPI, Aswaja yang dipahami FPI tidaklah sama yang dipahami oleh kalangan NU dan Muhammadiyah. Aswaja yang dipahami para aktivis FPI lebih mendekati pemahaman Aswaja menurut kelompok Salafi yang berlokomotifkan seorang Ustadh Ja’far Umar thalib di Yogyakarta. Menurut kelompok ini, Aswaja adalah mereka yang telah sepakat untuk berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam al-Qur’an dan al-Hadits dan mereka itu adalah para Sahabat dan Tabi’in. Titik tendensi perbedaan Aswaja ala FPI dan ormas lain (NU dan Muhammadiyah) adalah tentang otensitas agama pada wilayah ritus dan simbol. Menurut mereka, penghilangan ritus dan simbol keagamaan adalah tindakan “penentangan” terhadap Aswaja itu sendiri.[3] Keyakinan akan ritus dan simbol yang harus dipertahankan adalah bentuk pemikiran yang fundamental dalam Islam, oleh karena itu FPI juga bisa dikategorikan sebagai golongan Islam Fundamental.[4]
FPI juga sering dikaitkan dengan tema tentang Radikalisme Agama, tipologi ini diberikan kepadanya karena FPI mempunyai landasan ideologis yang relatif konservatif; namun, secara politik radikal dan militan. Mereka mengklaim tengah menghidupkan kembali jalan Salafi, Manhaj Salafi dan berjuang mengembalikan supremasi Syariat Islam untuk membawa Umat Islam keluar dari lilitan krisis multi-dimensial. Laskar Jihad misalnya, dia dinaungi oleh sebuah organisasi yang berlabel Forum Komunikasi Ahlu Sunnah Wal-Jama'ah. Sementara laskar-laskar yang lain sebagian besar berafiliasi ke pesantren-pesantren atau komunitas-komunitas keagamaan yang bergiat di dalam alur faham keagamaan yang relatif sama. Namun demikian, mereka tidak segan-segan untuk mengacung-acungkan senjata dan meneriakkan "Allahu Akbar" untuk membela Islam –yang menurut mereka tengah terjepit.
Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah kota di mana kehadiran gerakan Radikalisme Agama paling dirasakan. Dia menjadi tempat di mana aksi-aksi besar gerakan tersebut dipusatkan. Ia juga menjadi saksi di mana aksi-aksi kekerasan dari gerakan semacam itu terjadi. 
Historitas Berdirinya FPI
Front Pembela Islam dideklarasikan pada17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di halaman Pondok Pesantren al-Um, Kampung Utan Ciputat Jakarta Selatan oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah se-Jabodetabek Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerjasama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Makruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan.[5]
FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998-an. Terutama yang dilakukan oleh Laskar Pembela Islam. Rangkaian aksi penutupan club malam dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat, ancaman terhadap warga negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media massa.
Dalam mencapai tujuan Amar Ma’ruf,  FPI mengutamakan metode bijaksana dan lemah lembut melalui langkah-langkah: mengajak dengan Hikmah (kebijaksanaan, lemah lembut), memberi nasihat yang baik dan berdiskusi dengan cara yang baik. Sedangkan dalam menjalani Nahi Munkar FPI mengutamakan sikap yang tegas melalui langkah-langkah: menggunakan kekuatan atau kekuasaan bila mampu dan menggunakan lisan dan tulisan, bila kedua langkah tersebut tidak mampu dilakukan, Nahi Munkar dilakukan dengan hati, yang tertuang dalam ketegasan sikap untuk tidak menyetujui segala bentuk kemungkaran. 
Arah Gerakan FPI
Dilihat dari akar sosial kelompok aktivis yang menggerakkan FPI, kami menemukan adanya empat lapisan sosial, yaitu: Para habaib dan ulama’, intelektual kampus dan mahasiswa, kelompok preman dan anak jalanan dan masyarakat awam.
Dari perspektif normatif, tidak ada perbedaan diantara keempat lapisan sosial aktivis FPI dalam memandang dan memposisikan Islam. Menurut mereka Islam tetap dipahami sebagai ajaran mulia yang akan membimbing keselamatan pemeluknya didunia dan akhirat. Akan tetapi, pada tataran praktis, masing-masing kelompok sosial memiliki pemahaman, cara pandang dan kepentingan yang berbeda-beda terhadap Islam. Perbedaan pemahaman cara pandang, dan kepentingan inilah yang menyebabkan munculnya perbedaan perlakuan dan penyikapan terhadap Islam.
FPI, dalam setiap melakukan aksi-aksinya selalu menggunakan ”simbol-simbol Islam” seperti surban, jubah, peci dst. Hal ini memang ditekankan dalam setiap aksinya agar supaya tidak terdapat penyusup yang mencoba membelokkan arah massa aksi dan pemakaian simbol ini juga bertujuan agar supaya publik opinion dapat terbangun seperti apa yang mereka inginkan, seperti pembenaran masyarakat –yang awam dengan agama- atas segala aksi yang dilakuakan.
Dari paparan diatas, tampak jelasa bahwa paham keagamaan yang menentukan arah gerak FPI tergolong bersifat skriptualis-simbolis, dengan menjaga otensitas ajaran sampai pada titik yang paling simbolik, meskipun hal itu harus dilakukan dengan melanggar substansi dari ajaran itu sendiri.[6]


[1] Lih: Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal: 52-58.
[2] Jika kita kaji secara teliti tentang tipologi yang diberikan oleh al-Zastrow (2006) terhadap FPI, maka kita juga akan temukan sifat yang sama dalam tipologi gerakan transnasional. Hal ini berarti, FPI bisa dikategorikan sebagai salah satu fragmen geraakan transnasional. Lihat dang bandingkan dengan: Abdurrahman Wahid & Hasyim Muzadi dkk, Mewaspadai Gerakan Transnasional, Lakpesdam-NU Cirebon dengan bekerjasama dengan PP Fatayat NU, 2007, cet-1, hal:
[3] Setidaknya terdapat enam alasan yang menjadikan ritus dan simbol dalam agama tidak boleh dihilangkan dalam keberagamaan menurut FPI. Pertama, para sahabat nabi adalah orang yang dicintai allah dan mereka pun mencintai allah (QS. Al-Fath [48]: 18). Kedua, sahabat adalah prodak bimbingan langsung nabi, dan kelak akan menggantikannya jika sudah meninngal (QS, al-Baqarah [2]: 143). Ketiga, sahabat adalah teladan utama setelah nabi (QS al-Baqarah [2]: 137). Keempat, kebaikan sahabat tidak mungkin disamai oleh umat pasca sahabat. Kelima, sahabat adalah penerus terbaik setelah nabi. Keenam, sahabat adalah orang pilihan allah untuk menemani nabi. Lih: Lih: Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal:98-99
[4] Bahkan dalam beberapa wacana yang berkembang di media elektronik, FPI bukanlah salah satu dari Gerakan Islam Fundamentalis, namun mereka sudah tergolong sebagai aliran Gerakan Islam Neo-Fundamentalis yang bersifat Wahabi namun lebih konfrontatif. Coba lihat: Sidik Permana, Mencermati Akar Gerak FPI, (Artikel dimuat dalam http://sidik-permana.blogspot.com/2008/06/mencermati-akar-gerakan-fpi.html), diakses pada: 13 Oktober 2010.
[5] Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal: 89.
[6] Al-Zastrouw, Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentinagan FPI, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2006, hal: 100-101.

Post-Tradisionalisme Islam; Sebuah Loncatan Gerakan Sosial dalam Memahami Keberagamaan

"Concentration on articulating intellectual dynamism taking place within NU community till the rising of Post-Traditional Islam pattern of though, tracking down factors having an effect on pattern of such though, and discovering patterns of liberalism developing within the community exercising the paradigm of the Post-Traditional Islam..... the rising of young generation of the community with new progressive vision is unique and remarkable trend. This change of vision can not be separated from the role of Achmad Siddiq and Abdurrahman Wahid. The progressive pattern of thought nowadays has been institutionalized among non-governments organizations of the Traditionalist community young generation, called themselves Post-Traditionalist Islam community....."
_Dr. Rumadi

Sebuah wacana Islam di Indonesia yang dalam kurun waktu satu dekade terakhir menjadi sorotan publik dunia adalah Post-Tradisionalisme Islam.

Berbicara Post-Tradisionalisme Islam tidak akan bisa dilepaskan dari akar konteks dan sejarah dimana wacana tersebut lahir. Post-Tradisionalisme Islam lahir sebagai wacana yang menjadi vis-a-vis bagi Neo-Liberalisme Islam, Post-Tradisionalisme Islam juga sering diinstitusikan sebagai identitas bagi sebuah komunitas anak muda NU yang menjawab kesalahan fonis stagnasi yang sering digembor-gemborkan oleh kalangan Neo-Modernis Islam.

Post-Tradisionalisme Islam sebagai sebuah komunitas anak muda NU yang mempunyai visi progressif yang berperan penting dalam diskursus wacana Islam di Indonesia, salah satunya adalah konsep Toleransi Beragama yang digaungkan oleh Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid adalah salah satu anak muda  NU yang menjadi identitas bagi komunitas Post-Tradisionalisme Islam -sebagaimana yang ungkapkan oleh Dr. Rumadi. Konsep Toleransinya Abdurrahman Wahid dipakai oleh hampir mayoritas anak muda NU yang terkumpul dalam komunitas Post-Tradisionalisme Islam seperti Ahmad Baso, Dr. Rumadi, Zaki Mubarok, Uday Mashudi, Abdullah Kamil, Hery Hariyanto Azumi, Zuhairi Masrawi dan beberapa intelektual muda NU lain yang aktif dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menjadi pintu utama dalam memahami keberagamaan sebagai sebuah konsekuensi dalam kehidupan sosial yang heterogen, sebuah konsep dimana penghargaan terhadap keberagamaan harus diilhami dalam suatu gerakan sosial.

Awal mula kelahiran wacana ini banyak ditentang oleh beberapa kalangan yang mengatasnamakan diri sebagai Neo-Modernis Islam, mereka mengklaim bahwa wacana Post-Tradisionalisme Islam mempunyai kecacatan dalam wilayah epistemologis dan hanya menawarkan konsep metodologis yang kaku. Namun semua klaim dan tuduhan kalangan Neo-Modernis tersebut tidak mendasar dan cenderung memaksakan diri, seperti halnya pertama, klaim bahwa wacana Post-Tradisionalisme Islam hanya sebagai wacana counter discourse bagi wacana Modernisme Islam dan beberapa turunannya; padahal secara epistemologis, wacana Post-Tradisionalisme Islam hanya membahas loncatan perkembangan epistemologis di kalangan anak muda NU yang menjawab tuduhan tidak mendasar (jumud, kaku dan kolot), sebuah tuduhan yang menghalalkan berbagai cara dari dan demi menuruti nafsu essensialisme kaum Modernis dan Neo-Modernis Islam.

Kedua, wacana Post-Tradisionalisme Islam mencoba mengangkat realitas dan positioning dunia Pesantren bagi kemajuan bangsa Indonesia dan perkembangan agama Islam, sebuah realitas yang menurut Abdurrahman Wahid memiliki ciri khas yang hanya didapat di Pesantern, yakni: 1). Pesantren memiliki sistem sosial tersendiri, dimana sistem tersebut sebagai miniatur kehidupan sosial masyarakat secara makro, dan cocok untuk menciptakan kader-kader bangsa yang tangguh dan mengerti cara baca dalam memahami kelokalitasan dan kekontekstualan suatu bangsa; 2). Pesantren memiliki policy yang hanya dapat ditemukan didalamnya, namun yang lebih mengesankan lagi adalah; 3). Pesantren mendidik jiwa-jiwa yang menghargai lokalitas, namun bervisi internasional, hal ini terbukti dengan kurikulum yang dipakai dalam studinya yang lintas batas suku, ras, dan bangsa; sebuah kurikulum ala kitab kuning yang sampai sekarang masih menjadi basis keilmuan bagi kalangan Tradisonalis Islam.

Ketiga, Post-Tradisionalisme Islam mencoba memahami Islam sebagai sebuah agama dengan nilai-nilai yang relevan bagi semua kalangan, dalam hal ini, pendekatan yang dipakai oleh kalangan Post-Tradisionalisme Islam adalah "Kritik Nalar Islam" Mohammed Arkoun dan "Kritik Nalar Arab" Mohammed Abed al-Jabiri. Kedua konsep tersebut berusaha memahami Islam sebagai agama yang lepas dari paradigma sejarah dan budaya yang selalu subjektif.

Post-Tradisionalisme Islam adalah sebuah wacana yang selalu menjadi paradigma gerakan sosial dalam memahami keberagamaan yang ada di Indonesia seharusnya mendapatkan apresiasi yang sangat besar di kalangan dunia Islam, namun bagi beberapa kalangan -seperti Neo-Modernis Islam dan beberapa variannya seperti Wahabiyyah dan kaum Fundamentalis Islam- selalu menolak eksistensi Post-Tradisionalisme Islam baik sebagai wacana maupun sebagai paradigma gerakan sosial dalam memahami keberagamaan yang terfragmen menjadi sebuah komunitas-komunitas gerakan sosial seperti PMII dengan landasan epistemologis yang tidak mendasar dan cenderung terlihat seperti Political Will an sich dengan orientasi kekuasaan semu. Padahal kalau kita telusuri, akar-akar epistemologis kalangan Neo-Modernis memiliki akar pemikiran yang sama dengan kalangan Fundamentalis Islam yang sering dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan terorisme yang melukai identitas Islam sebagai agama yang Rohmatan lil 'Alamin. Dari fakta bahwa kaum Neo-Modernis dan Fundamentalis Islam memiliki akar pemikiran yang sama tersebut, maka terdapat beberapa kaum Intelektual Modernis Islam seperti Nurcholis Madjid dan Amin Rais mencoba meninjau kembali dan berfikir ulang tentang landasan epitemologis Fazlurrahman tentang Noe-Modernisme Islam.

Pada titik ini, kita telah mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya Post-Tradisionalisme Islam itu sendiri. Sebagai sebuah wacana yang tidak hanya berada pada wilayah konsepsi, namun sudah sebagai paradigma memfragmenkan diri sebagai gerakan sosial dalam memahami keberagamaan yang digerbongi oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan dilokomitifi oleh anak-anak muda NU menjadi kekuatan mainstream dalam mendahulukan tindakan-tindakan berbasis toleransi dalam beragama, yang dimulai dari Indonesia untuk Islam di seluruh dunia; dari konsep klasik NU al-Muhafadhotu 'ala Qodim a-Sholih wa al-Akhdlu bi al-Jadid al-Ashlah untuk Islam yang Rahmatan lil 'Alamin.